Berita-Cendana.Com- Kupang,- Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia sering dipuji sebagai contoh transisi demokrasi yang relatif sukses di kawasan Asia Tenggara. Reformasi 1998 menjadi tonggak penting dalam membongkar sistem otoritarian Orde Baru dan membuka ruang partisipasi politik yang lebih inclusive melalui pemilu langsung, multipartai, dan desentralisasi kekuasaan.
Namun, dibalik kemegahan arsitektur kelembagaan demokrasi tersebut, realitas politik Indonesia dewasa ini lebih memperlihatkan kesenjangan akut antara prinsip normatif demokrasi elektoral dan praktik politik sehari-hari.
Sistem pemilu Indonesia, yang menganut sistem proporsional terbuka, secara teoritis dirancang untuk memperkuat representasi politik dan mendorong akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituen. Namun dalam praktiknya, sistem ini justru mendorong politik transaksional, maraknya politik uang, serta kooptasi elit-elit oligarkis dalam proses pencalonan legislatif. Perubahan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan presidential threshold justru mempersempit ruang representasi politik, menciptakan fragmentasi semu namun pada saat bersamaan mengokohkan dominasi partai-partai besar dalam penentuan agenda politik nasional.
Peranan partai politik sebagai pilar utama konsolidasi demokrasi juga mengalami deviasi serius. Secara teoritik, partai politik seharusnya menjadi agen pendidikan politik, artikulasi kepentingan rakyat, dan mekanisme rekrutmen kader politik yang demokratis. Namun, dalam praktiknya, partai-partai politik di Indonesia kerap terperangkap dalam politik dinasti, patronage, serta minimnya regenerasi kader yang berbasis meritokrasi. Fenomena kartel partai (party cartelization) dalam pemikirannya Marcus Mietzner (The Coalitions Presidents Make, 2023) menjadi semakin menguat, di mana partai-partai lebih sibuk menjaga akses terhadap sumber daya negara ketimbang memperjuangkan agenda reformasi struktural.
Lebih jauh lagi, sistem kepartaian yang multipartai ekstrem, bukannya melahirkan pluralism politik yang sehat, justru menghasilkan politik kompromi transaksional di parlemen. Kooptasi partai-partai ke dalam koalisi pemerintahan tanpa oposisi yang kuat menciptakan defisit oposisi dan melemahkan fungsi checks and balances.
Demokrasi Indonesia hari ini menghadapi paradoks, ia hidup secara prosedural, namun lumpuh secara substantial Kondisi ini memperlihatkan bahwa konsolidasi demokrasi di Indonesia bukan hanya persoalan reformasi kelembagaan ( Thomas Pureklolon, Demokrasi dan Politik, 2019) melainkan krisis etika politik dan kemandekan budaya politik.
Tanpa perbaikan serius dalam sistem kaderisasi, pembiayaan politik, serta penegakan aturan main demokrasi, Indonesia beresiko terus terjebak dalam demokrasi elektoral yang dangkal-sekadar ritual lima tahunan tanpa substansi partisipasi dan representasi rakyat yang sejati. Dengan demikian, pertanyaan besar yang terus menggantung hari ini (dan mungkin nanti) bukan lagi tentang bagaimana melaksanakan demokrasi, tetapi bagaimana mengembalikan makna demokrasi itu sendiri di tengah kooptasi oligarki dan politik transaksional yang kian masif dan terus membludak. Penulis: Thomas Tokan Pureklolon, Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
Posting Komentar