Politik Indonesia Kontemporer: Konsolidasi Demokrasi dan Tantangan

 

Berita-Cendana.Com- Jakarta,- Fase politik  Indonesia kontemporer ditandai oleh awal kepemimpinan pertama yang berasal dari kalangan non elit politik dan militer, serta menghadirkan harapan akan pembaharuan demokrasi yang lebih inclusive, yakni periode Joko Widodo. Periode ini menandai fase kompleks  dalam konsolidasi demokrasi Indonesia yang ditandai oleh stabilitas politik namun disertai dengan kemunduran  yang bersifat demokratis yang signifikan. 

Karakteristik utama periode ini adalah paradoks antara popularitas tinggi Presiden dengan penguatan otoritarianisme yang sistematis, sehingga mencerminkan lemahnya kontrol secara demokratis terhadap kekuasaan eksekutif. Di sisi lain, kebijakan ekonomi yang berfokus pada infrastruktur dan investasi asing berhasil menciptakan pertumbuhan yang stabil, namun disertai  dengan pengendalian narasi politik yang ketat.

Implementasi kebijakan selama dua periode kepemimpinan menunjukkan kecenderungan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokratis. Elemen-elemen koalisi berkuasa telah menerapkan strategi akomodasi, kooptasi, tantangan hukum, represi, dan pemaksaan untuk membatasi prospek kontestasi politik yang terbuka. Kemunduran demokrasi yang paling nyata pada periode ini terlihat dalam pelumpuhan institusi-institusi kontrol demokrasi, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sebelumnya dipuji sebagai lambang demokrasi. Lembaga-lembaga keamanan, seperti tentara dan kepolisian  semakin terlibat dalam urusan politik sipil, menandakan kembalinya peran dwifungsi yang telah dihapuskan pasca reformasi. Praktik-praktik ini mengindikasikan terjadinya reformasi terbaik atau reformasi reversal yang mengancam fondasi demokrasi Indonesia (Rahm, A.A, 2022).

Selanjutnya transisi kepemimpinan dari Bapak Joko Widodo kepada Prabowo Subianto menandai kontinuitas dalam kemunduran demokratis sambil menghadapi tantangan baru dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Karakteristik utama  periode ini adalah upaya konsolidasi kekuasaan melalui koalisi  yang diperluas dan penekanan pada pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pak Prabowo Subianto, berhasil meraih kemenangan dalam pemilihan Presiden 2024 setelah dua kali mengalami kekalahan, menghadapi tantangan kritis dalam membangun legitimasi demokratis. Latar belakang militernya yang kontroversial menciptakan kekhawatiran akan penguatan otoritarianisme, namun visi Indonesia Emas 2045 memberikan kerangka kerja untuk modernisasi ekonomi dan sosial.

Tantangan utama  yang dihadapi pemerintahan pak Prabowo meliputi kebutuhan untuk mencegah arus keluar kekayaan negara akibat kebijakan yang tidak tepat dan memastikan bahwa demokrasi tidak didominasi oleh investor besar. Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, diperlukan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebesar 6-7% mulai tahun 2025 yang didukung oleh penguatan peran pemerintah dalam ekonomi  dan pembangunan yang sejalan dengan filosofi ekonomi Pancasila. Peluang yang dimiliki oleh pemerintahan pak Prabowo terletak pada kontinuitas kebijakan perdagangan terbuka dan politik luar negeri yang telah dibangun sebelumnya. 

Namun, tantangan signifikan muncul dari kecenderungan kemunduran demokratis yang semakin menguat dan tantangan legislatif yang lebih besar dalam mendorong agenda sosial dan ekonomi yang koheren. Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang TNI dengan memperkuat peran aktif TNI pada jabatan sipil yang memunculkan kekhawatiran  terhadap dwifungsi gaya orde baru, serta mengaburkan batas sipil-militer (Setiawan, 2022).

Terkait sistem pemilu Indonesia bagi Mietzner (2023), telah mengalami berbagai reformasi sejak tahun 1999 menunjukkan kesenjangan signifikan antara teori dan praktik demokrasi. Meskipun secara formal mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi, implementasinya  menghadapi tantangan struktural yang menghambat konsolidasi  demokrasi yang efektif. Sistem multipartai yang berkembang pasca reformasi telah menciptakan fragmentasi politik yang kompleks, di mana partai-partai politik lebih berfungsi sebagai kendaraan kepentingan elit daripada representasi ideologis yang jelas. Institusionalisasi partai politik menghadapi tantangan dalam membangun identitas programmatic yang konsisten dan berkelanjutan.

Peranan partai politik dalam demokrasi Indonesia dewasa ini lebih banyak ditentukan oleh kemampuan finansial dan jejaring oligarkis daripada kapasitas representasi demokratis dalam menjalankan fungsi demokrasi secara ideal. Hal ini bisa menciptakan paradoks, dimana meskipun pemilu diselenggarakan secara reguler dan kompetitif, kualitas representasi demokrasi mengalami degradasi. Sistem kepartaian Indonesia menunjukkan karakteristik yang resilien dalam konteks institusional, namun lemah dalam aspek substantif. Partai-partai politik cenderung membentuk koalisi pragmatis yang mengabaikan perbedaan ideologis, menciptakan konsensus semu yang menghambat kompetisi gagasan yang sehat dalam demokrasi (Mietzner, 2023).

Peranan partai politik dalam demokrasi Indonesia dewasa ini lebih banyak ditentukan oleh kemampuan finansial dan jejaring oligarkis daripada kapasitas representasi demokratis dalam menjalankan fungsi demokrasi secara ideal. Hal ini bisa menciptakan paradoks, di mana meskipun pemilu disengggarakan secara reguler dan kompetitif, kualitas representasi demokrasi mengalami degradasi. Sistem kepartaian Indonesia menunjukkan karakteristik yang resilien dalam konteks institusional, namun lemah dalam aspek substantif. Partai-partai politik cenderung membentuk koalisi pragmatis yang mengabaikan perbedaan ideologis, menciptakan konsensus semu yang menghambat kompetisi gagasan yang sehat dalam demokrasi (Mietzner, 2023).

Budaya korupsi dan oligarki merupakan dua fenomena yang saling terkait dan menjadi ancaman serius terhadap kualitas demokrasi Indonesia. Persoalan korupsi tidak hanya sebagai masalah hukum, tetapi juga sebagai manifestasi dari struktur  kekuasaan yang oligarkis yang mengakar dalam sistem politik Indonesia kontemporer. Implementasi fungsi legislatif yang lemah dalam pemerintahan pak Jokowi mengindikasikan stagnation dalam Demokrasi Indonesia yang disebabkan oleh pengaruh oligarkis yang kuat. Struktur oligarkis ini menciptakan sistem politik yang responsif terhadap kepentingan kelompok kecil yang berkuasa, sambil mengabaikan aspirasi demokratis yang luas. Kecenderungan oligarkis dalam politik Indonesia kontemporer menunjukkan bahwa meskipun institusi-institusi demokratis formal tetap berfungsi, namun substansi demokrasi pada saat yang sama sedang mengalami hollowing out (Mietzner, 2023).

Terkait dengan keseluruhan pemahaman di atas, Mietzner memberikan sebuah afirmasi politik bahwa pengumpulan kekayaan dan penguasaan politik menjadi dua sisi yang berkaitan  erat dalam sistem politik yang semakin dikuasai oleh kalangan elit. Sedangkan analisis terhadap fenomena oligarkis dalam konteks Indonesia menunjukkan bahwa penyatuan kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik menjadi defisiensi utama dalam demokrasi Indonesia. Namun demikian, dalam praktik politik Indonesia dewasa ini, pendekatan yang terlalu fokus pada oligarki juga memiliki keterbatasan dalam memahami kompleksitas politik Indonesia yang multidimensional.

Terlepas dari semua analisis di atas, politik identitas telah menjadi fenomena yang semakin prominen dalam demokrasi Indonesia, menciptakan tantangan baru terhadap kohesi sosial dan kualitas demokrasi. Faktor-faktor politik yang membentuk politik identitas meliputi instrumentalis isu agama dan etnis oleh elit politik untuk kepentingan elektoral. Relasi agama dan negara dalam konteks NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) berdasarkan Pancasila menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok yang menginginkan formalisasi agama dalam struktur negara. Hal ini menciptakan ketegangan antara  prinsip pluralisme yang dianut dalam Pancasila dengan tuntutan kelompok-kelompok yang menginginkan peran agama yang lebih dominan dalam kehidupan publik.

Implikasi politik identitas terhadap kualitas demokrasi Indonesia sangat signifikan, karena menciptakan polarisasi yang dapat menghambat deliberation demokratis yang rasional. Mobilitas identitas primordial dalam konteks politik dapat mengancam prinsip kewarganegaraan yang inklusif dan setara. Tantangan utama dalam mengelola politik identitas adalah bagaimana mempertahankan keseimbangan antara pengakuan terhadap keberagaman identitas dengan pemeliharaan kohesi nasional. Hal ini memerlukan pendidikan politik yang berkelanjutan dan penguatan institusi-institusi yang dapat memoderasi konflik identitas. Di sinilah upaya konsolidasi demokrasi dalam perjuangan politik tetap terus dan menjadi PR (Pekerjaan Rumah) terhadap masa depan politik Indonesia. Penulis: Thomas Tokan Pureklolon. Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.



0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot