Wapres Simulacrum di Tengah Krisis


Berita-Cendana.Com- Jakarta,- Tulisan ini lahir ketika saya membaca berita tentang Wakil Presiden (saya enggan menyebut namanya) yang memantau arus balik mudik lewat CCTV. Aksi simbolik yang entah keberapa kalinya ini semakin menggoyahkan kewarasan saya dalam menalar bagaimana seharusnya pemerintahan dijalankan. Bahkan ekspektasi paling minim terhadap kepemimpinan pun terasa terus-menerus dikhianati.

Sudah saatnya para buzzer sadar: menyelamatkan negeri ini jauh lebih penting daripada membela individu yang justru bisa menjerumuskan bangsa ke jurang lebih dalam.

Di tengah tekanan ekonomi global yang kian memuncak akibat eskalasi perang dagang antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, Indonesia menghadapi realitas pahit di dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi melambat, daya beli masyarakat melemah, dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menerpa berbagai sektor industri mulai dari tekstil, alas kaki, hingga manufaktur. Satu per satu pabrik berguguran.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 60 persen angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal tanpa perlindungan sosial dan sangat rentan terhadap guncangan ekonomi. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka tercatat lebih dari 5 persen, dan puluhan juta lainnya terjebak dalam pekerjaan berbasis gig economy yang kerap dieksploitasi tanpa kepastian masa depan.

Kelas menengah ke bawah menjerit. Harga kebutuhan pokok tak kunjung stabil, upah stagnan, dan lapangan kerja terus menyusut seiring derasnya arus otomatisasi dan efisiensi biaya produksi oleh korporasi besar.

Di tengah situasi yang menuntut kehadiran pemimpin visioner yang mampu merancang strategi ketahanan nasional, melindungi pekerja rentan, serta menjadi corong harapan rakyat publik justru disuguhi pemandangan ironis: Wakil Presiden Republik Indonesia duduk di ruang pemantauan CCTV, meninjau arus balik Lebaran. Aksi simbolik ini kemudian dipublikasikan luas ke media, seolah menjadi pencapaian penting kenegaraan.

Kegiatan serupa bukan kali ini saja terjadi. Mulai dari pembagian makanan gratis di sekolah, peninjauan lokasi banjir, hingga seremoni-seremoni lainnya yang secara substansi tidak menjawab persoalan strategis bangsa. Semua hadir dalam bingkai publisitas, bukan kebijakan. Dalam narasi pertunjukan, bukan perencanaan jangka panjang.

Padahal, posisi Wakil Presiden secara konstitusional bukan hanya pelengkap administratif. Ia adalah pemimpin politik, pengambil keputusan, dan penggerak koordinasi lintas sektor. Namun yang tampak hari ini justru sebaliknya: ketiadaan suara dalam kebijakan penting, absennya inisiatif strategis, dan hilangnya peran dalam diskursus publik.

Indonesia tengah menghadapi tantangan besar: perang dagang global yang memukul ekspor dan industri nasional, gelombang PHK massal di berbagai sektor, nilai tukar rupiah yang terus melemah, serta indeks saham yang lesu tak berdaya. Di akar rumput, masyarakat kelas bawah dicekik oleh inflasi, biaya hidup yang semakin tinggi, dan peluang kerja yang kian menyempit.

Namun alih-alih tampil sebagai motor solusi atau inisiator langkah-langkah luar biasa, sang Wakil Presiden justru lebih sering muncul dalam urusan-urusan remeh temeh. Seolah negara hanya membutuhkan tampilan visual bahwa pejabat bekerja, sementara tak satupun persoalan rakyat tersentuh secara substantif dalam menyelesaikan akar permasalahannya.

*Belajar dari Wapres Lain*

Dalam sistem presidensial, Wakil Presiden bukan sekadar cadangan konstitusional jika Presiden berhalangan. Ia adalah aktor politik utama yang seharusnya memainkan peran strategis dalam pemerintahan: sebagai jembatan antara eksekutif dan publik, serta mitra aktif dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Fungsi ini bukan hanya formal, tetapi juga substantif, terutama ketika negara mengalami guncangan struktural dan sosial.

Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama, tidak hanya dikenal sebagai proklamator, tetapi juga pemikir ekonomi kerakyatan. Ia membawa visi dan ideologi besar ke dalam kebijakan negara, menjadikan koperasi sebagai pilar pembangunan ekonomi berbasis keadilan sosial. Hatta aktif menulis, berdebat, dan menyusun landasan berpikir bangsa. Ia adalah thought leader sekaligus policy leader, bukan pelengkap administratif.

Jusuf Kalla memberikan teladan kontemporer. Dalam dua periode sebagai Wapres, ia tampil sebagai aktor sentral penyelesaian konflik Poso dan Aceh, negosiator ulung diplomasi regional, serta penggerak pembangunan berbasis efisiensi birokrasi. Ia tidak menunggu aba-aba, tetapi menciptakan momentum. Ia adalah contoh Wapres yang tidak bersembunyi di balik Presiden, tapi menjadi motor perubahan. Bahkan dalam perdebatan publik, ia sering tampil lebih jernih dan solutif dibanding menteri-menteri teknis.

Di luar negeri, Wakil Presiden justru didesain untuk berperan aktif dan otonom. Di Amerika Serikat, peran Kamala Harris mencakup isu migrasi, reformasi kepolisian, dan hak suara pemilih. Joe Biden semasa jadi Wapres pun memimpin proyek infrastruktur dan diplomasi strategis. Di India, Wakil Presiden menjabat Ketua Rajya Sabha (Dewan Tinggi Parlemen), bukan hanya politis, tetapi institusional.

Merujuk pada teori institutional functionalism dari Talcott Parsons, setiap elemen dalam sistem sosial memiliki fungsi spesifik demi keseimbangan struktur. Wakil Presiden seharusnya menjalankan fungsi koordinasi, penyeimbang, dan katalisator, bukan sekadar pengamat atau simbol pelengkap. Ketika fungsi ini kosong, negara berjalan pincang dan berisiko stagnasi kebijakan di tengah krisis.

Belajar dari figur-figur tersebut, rakyat Indonesia berhak memiliki ekspektasi akan sosok Wapres yang aktif, strategis, dan berani mengambil peran, bukan sekadar menjalankan seremoni tanpa substansi. Terlebih di tengah memuncaknya perang dagang global dan krisis multidimensi, bangsa ini memerlukan pemimpin yang mampu merancang strategi penyelamatan ekonomi, melindungi industri domestik, menanggulangi korban PHK, serta membuka lapangan kerja baru.

*Wapres Simbolisme tanpa Substansi*

Wajah Wakil Presiden hari ini tampil sebagai simbol politik tanpa substansi. Di tengah krisis multidimensi, PHK massal, ekonomi rakyat terpuruk, dan ketimpangan sosial yang semakin dalam,  kehadirannya lebih sering muncul dalam seremoni ketimbang solusi.

Padahal jabatan ini seharusnya strategis. Namun, yang tampak justru pasifisme: seolah tugas utamanya hanya memastikan lalu lintas mudik lewat CCTV, bukan menyusun kebijakan untuk rakyat. Politik direduksi menjadi panggung simbolik, bukan panggilan untuk bertindak, sebagaimana diingatkan Max Weber.

Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai simulacra, ketika simbol menggantikan realitas. Wapres menjadi citra kekuasaan tanpa substansi kebijakan. Rakyat tidak butuh figur di layar, melainkan pemimpin yang hadir di lapangan: menyapa buruh, petani, guru, dan warga miskin kota yang terdampak kebijakan.

Ketiadaan substansi ini mencerminkan sistem anti-meritokrasi, di mana kekuasaan diwarisi, bukan diperjuangkan. Vilfredo Pareto menyebutnya sebagai elite circulation, pergantian aktor tanpa perubahan struktur. Jabatan tinggi negara pun kehilangan legitimasi substantif.

Publik semakin skeptis. Tak ada legacy, kontribusi strategis, atau isu penting yang dikawal. Legitimasi politik tidak cukup bersandar pada pemilu, tapi juga harus dibuktikan lewat kinerja dan kepercayaan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam teori democratic legitimacy.

Pencalonan dia disebut sebagai “anak haram konstitusi,” mencerminkan kekecewaan publik terhadap rekayasa hukum demi politik dinasti. Putusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia dianggap mencederai integritas konstitusi. Dalam constitutionalism, konstitusi adalah pembatas kekuasaan, bukan alat pelanggengan kekuasaan. Seperti diperingatkan David Held, demokrasi tanpa integritas konstitusional rentan menjadi kedok otoritarianisme.

Inilah bentuk elite capture, seperti dijelaskan Acemoglu dan Robinson ketika elite mengendalikan demokrasi demi kepentingan sendiri.

Wapres seharusnya menjadi pemimpin yang menjawab problem struktural: pengangguran, pendidikan, ketimpangan. Kini, jabatan itu justru menjadi lambang pengkhianatan terhadap demokrasi partisipatif. Demokrasi prosedural memang berjalan, tapi substansinya keropos.

Larry Diamond menyebut, pemilu tanpa institusi liberal hanyalah tirai demokrasi. Kita tidak kekurangan sumber daya, tapi krisis kepemimpinan. Saatnya meninggalkan politik pewarisan. Bangsa ini butuh pemimpin dari kualitas, bukan silsilah. Sebagaimana dikatakan Max Weber: “Politik adalah panggilan dan profesi, bukan warisan keluarga.(Aznil Tan ).

0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot