Ketika Wajah Tak Lagi Sama: Tantangan Hukum Identitas di Era Operasi Plastik

Berita-Cendana.Com- Pada era dimana penampilan fisik menjadi bagian dari investasi sosial dan profesional, praktik operasi plastik telah menjadi fenomena yang semakin lumrah, khususnya di kalangan ekonomi menengah ke atas. Di Indonesia, tren ini masih terbatas pada kalangan selebritis, profesional muda, dan individu yang memiliki kemampuan finansial. Namun di kawasan Asia Timur dan Tenggara seperti Korea Selatan dan Thailand, operasi plastik telah menjadi bagian dari budaya populer dan bahkan menjadi alasan utama datangnya wisatawan sebuah bentuk beauty tourism.

Fenomena regional ini memunculkan perhatian baru terhadap isu hukum identitas di Indonesia. Jika wajah bisa dengan mudah diubah secara permanen oleh prosedur medis yang sah. Pertanyaan utamanya adalah; bagaimana negara memastikan bahwa identitas hukum seseorang tetap sah dan dapat diverifikasi? 

Wajah: Antara Citra Sosial dan Bukti Hukum

Sistem identitas kependudukan di Indonesia masih mengandalkan foto wajah sebagai salah satu elemen utama dalam proses verifikasi. Berdasarkan Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Administrasi Kependudukan, data biometrik meliputi foto, sidik jari, dan iris mata. Namun dalam prakteknya, hanya foto wajah yang sering menjadi rujukan utama saat verifikasi dilakukan baik secara manual oleh petugas maupun melalui sistem digital.

Ketika wajah berubah drastis karena operasi plastik, maka foto lama dalam dokumen negara seperti e-KTP, SIM, atau paspor menjadi tidak relevan. Akibatnya, pemilik wajah baru bisa mengalami penolakan dalam layanan publik atau bahkan tuduhan penyalahgunaan identitas.

Tindakan Legal, Tapi Tidak Diatur Secara Khusus

Secara hukum, operasi plastik diperbolehkan di Indonesia. Selama prosedur dilakukan oleh tenaga medis berizin dan mendapat persetujuan dari pasien, tindakan ini dianggap sah menurut UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Namun, meskipun sah di mata hukum kesehatan, tidak ada aturan eksplisit yang mengakomodasi perubahan wajah akibat tindakan medis dalam konteks pembaharuan identitas.

Peraturan administrasi kependudukan mewajibkan pelaporan atas perubahan elemen data, tetapi tidak menyebut perubahan ciri fisik atau wajah sebagai elemen yang wajib diperbarui. Kekosongan hukum ini menciptakan risiko ketidakpastian hukum, baik bagi pemilik identitas maupun institusi yang memverifikasi.

Pelajaran dari Kawasan: Refleksi Hukum Regional

Negara-negara seperti Korea Selatan telah mengembangkan sistem hukum dan teknologi yang lebih adaptif terhadap perubahan wajah akibat operasi plastik. Di sana, masyarakat dapat memperbarui foto identitas secara rutin tanpa hambatan administratif yang berarti. Bahkan dalam konteks akademik, seperti yang disoroti dalam jurnal Paradigma Universitas Indonesia, praktik-praktik budaya tubuh di negara-negara Asia ini mencerminkan bagaimana negara ikut berperan dalam normalisasi estetik melalui sistem hukum dan kebijakan publik.

Berbeda halnya dengan Indonesia, di mana hukum masih bersifat reaktif dan belum cukup progresif untuk merespons perubahan sosial yang cepat, termasuk perubahan wajah sebagai identitas hukum.

Wajah Baru, Regulasi Lama

Tanpa kerangka hukum yang akomodatif, warga negara Indonesia yang menjalani operasi plastik dapat terjebak dalam situasi ambigu: wajah mereka sah secara medis, tetapi belum tentu sah secara administratif. Ini bisa berujung pada diskriminasi akses layanan, kesalahan dalam sistem verifikasi, atau bahkan kriminalisasi tidak langsung.

Sudah saatnya negara menyusun pedoman teknis yang memungkinkan pembaruan data biometrik akibat tindakan medis. Tujuannya bukan untuk mengawasi tubuh warga, tetapi untuk memastikan bahwa hak identitas mereka tetap terlindungi apa pun bentuk wajah mereka hari ini.

Wajah memang bisa berubah, tetapi hak hukum warga negara seharusnya tidak ikut terhapus. Di sinilah pentingnya kehadiran negara dalam mengatur, melindungi, dan menyesuaikan hukum dengan realitas sosial. Jika tidak, wajah yang tak lagi sama bisa berarti identitas yang tak lagi diakui.

Negara tidak bisa terus-menerus membiarkan kondisi ini berlarut. Dibutuhkan regulasi teknis dari Ditjen Dukcapil yang menjelaskan bahwa perubahan wajah akibat tindakan medis dapat 

menjadi dasar permohonan pembaruan elemen foto biometrik. Langkah ini tidak hanya menyelamatkan warga dari kesulitan administratif, tetapi juga memastikan bahwa sistem identifikasi kita tetap kredibel dan akuntabel.

Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dan Ditjen Dukcapil perlu segera menyusun regulasi turunan yang lebih spesifik dalam mengakomodasi perubahan fisik akibat tindakan medis seperti operasi plastik. Perubahan wajah bukan hanya peristiwa estetika, tetapi juga berdampak langsung terhadap keabsahan identitas hukum seseorang dalam sistem administrasi negara. Pemerintah perlu mempertimbangkan penambahan kategori “perubahan ciri fisik” sebagai elemen wajib lapor dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan maupun regulasi teknis pelaksanaannya. Di sisi lain, bagi individu yang telah atau akan melakukan operasi plastik, perlu disadari bahwa dampak hukum terhadap dokumen identitas sangat nyata. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk menyimpan seluruh dokumen medis dan administratif terkait prosedur tersebut mulai dari surat persetujuan tindakan, bukti pembayaran, hingga keterangan dokter sebagai bukti autentik apabila diperlukan dalam proses pembaruan identitas atau pembuktian hukum dikemudian hari.(Penulis: Arnoldus Yansen Pawe, S.E., M.H. (Alumni: Magister Ilmu Hukum Universitas Pelita Harapan).








0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot