Berita-Cendana.Com-Jakarta,-Baru-baru ini berbagai media massa ramai membicarakan pernyataan kontroversial Fadli Zon tentang pemerkosaan massal pada Mei 1998. Pada 11 Juni 2025 Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI dalam wawancaranya dengan jurnalis Uni Zulfiani mengatakan bahwa pemerkosaan massal pada Mei 1998 adalah cerita belaka tanpa bukti.
Hal ini dikatakan dalam rangka meluruskan rumor-rumor yang beredar di masyarakat agar tidak dianggap sebagai fakta. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI pada 2 Juli 2025 Fadli Zon menjelaskan bahwa Beliau tidak menampik adanya peristiwa kekerasan seksual pada Mei 1998, tetapi Beliau berkeberatan jika kata “massal” disematkan pada peristiwa tersebut. Mengutip pemberitaan kompas.com pada 3 Juli 2025 Fadli Zon menyebutkan “Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Di Nanjing, korbannya diperkirakan 100.00 sampai 200.00, di Bosnia itu antara 30.000 sampai 50.000,”.
Penulisan kata “massal” di berbagai media massa seringkali salah kaprah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “massal” adalah bentuk baku, sedangkan bentuk tidak bakunya adalah massal. Namun demikian, bentuk tidak baku inilah yang lebih dikenal dan banyak digunakan oleh masyarakat dan media massa. Menurut KBBI definisi “masal” adalah jumlah banyak sekali; mengikutsertakan atau melibatkan orang banyak. Kita juga banyak menjumpai penggunaan istilah ini dalam berita-berita seperti nikah massal, khitanan massal, kesurupan massal, pembunuhan massal dan lain-lain dengan jumlah yang berbeda-beda. Berikut adalah tiga contoh tentang penggunaan diksi “massal” di media massa.
Pada 10 Juni ada berita tentang penembakan massal di sebuah SMA di Austria yang menewaskan 10 orang. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20250606095221-4-639081/horor-penembakan-massal-di-sma-10-siswa-tewas-pelaku-bunuh-diri).
Dalam peringatan Hari Bhayangkara ke 79 Polresta Bandung mengadakan khitanan massal yang diikuti oleh paling tidak 30 anak dari berbagai daerah di Kabupaten Bandung pada 28 Juni 2025 (https://www.rri.co.id/pusat-pemberitaan/daerah/1614404/hut-bhayangkara-ke-79-polresta-bandung-gelar-khitanan-massal). Bimas Islam Kemenag RI mengadakan Nikah Massal bagi 100 pasangan di Masjid Istiqlal pada 28 Juni 2025. (https://kemenag.go.id/nasional/kemenag-gelar-nikah-massal-di-masjid-istiqlal-hrl5).
Definisi “massal” di KBBI tidak menyebutkan suatu angka tertentu yang dapat dijadikan tolak ukur. Kamus Oxford mendefinisikan mass yang berpadanan dengan “massal” dalam bahasa Indonesia sebagai affecting or involving a large number of people or things. Definisi ini juga senada dengan kamus lain seperti Cambridge dan Merriem Webster yang tidak merujuk pada jumlah tertentu. Oleh karena itu, sangatlah mungkin persepsi seseorang tentang jumlah “banyak” akan beragam. Contoh yang diberikan Fadli Zon tentang pembunuhan massal yang berjumlah puluhan bahkan ratusan ribu tentu saja menjadi fakta Sejarah. Namun, penggunaan diksi “massal” dapat juga digunakan dalam berita penembakan, khitanan, dan nikah hanya melibatkan 10-30 orang saja.
Sejauh ini penggunaan kata “massal” dalam peristiwa-peristiwa tersebut dapat diterima dan tidak menimbulkan polemik dalam masyarakat. Ditinjau dari definisi dan penggunaan istilah “massal” di media massa ada perbedaan yang cukup signifikan dalam hal jumlah. Demikian pula Jika kata “banyak” yang merupakan definisi “massal” disandingkan dengan kata-kata lain seperti “lebih banyak, sangat banyak, sedikit lebih banyak, jauh lebih banyak”, jumlahnya akan bervariasi tergantung pada subjek/objek pembandingnya. Jika wacana pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998 dipermasalahkan karena penggunaan diksi “massal”, Hal ini tentu saja dapat diperdebatkan karena penafsiran jumlahnya bisa berbeda-beda.
Dalam komunikasi sebuah kata dapat mengandung konotasi tertentu karena tidak digunakan dalam ruang hampa atau tanpa konteks. Seseorang akan memilih kata tertentu untuk mengungkapkan makna tertentu atau agar memberikan dampak sesuai dengan tujuannya. Dalam teori klasiknya Hymes (1974) menjelaskan makna sebuah tuturan ditentukan oleh latar belakang/konteks, peserta, tujuan, urutan tindakan, nada/gaya, sarana, norma, dan jenisnya. Dalam hal ini Fadli Zon yang sedang merampungkan proyek penulisan ulang Sejarah Indonesia tentu memiliki kepentingan tertentu dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kebudayaan RI. Beliau sendiri menyatakan keinginannya untuk menulis ulang sejarah Indonesia dalam nada positif dengan menonjolkan pencapaian positif bangsa Indonesia demi persatuan bangsa.
(https://nasional.kompas.com/read/2025/06/07/08595781/fadli-zon-tone-positif-penulisan-sejarah-untuk-persatukan-kebenaran-bangsa) Jadi, keberatan Fadli Zon atas penggunaan diksi “masal” dalam peristiwa pemerkosaan 1998 bisa jadi tidak sejalan dengan misi Beliau dalam proyek penulisan sejarah yang telah kosong selama 26 terakhir.
Fadli Zon juga menjelaskan polemik tentang kata “massal” dalam peristiwa pemerkosaan Mei 1998 “harus dibuktikan secara akademis dan legal.” Hal ini selayaknya disambut oleh para akademisi di bidang ilmu bahasa, hukum, dan sejarah agar kontroversi istilah “masal” memiliki definisi yang objektif dengan kajian yang komprehensif dari berbagai perspektif. (Penulis: Hanna Suteja, S. Pd. M. Hum, dosen Bahasa Inggris di Universitas Pelita Harapan, Jakarta)
Posting Komentar