Berita-Cendana.Com - Jakarta,- Dalam dunia dewasa ini semakin banyak orang membahas tentang kebudayaan. Bukan karena masalah ini merupakan masalah baru yang belum tersentuh sama sekali, melainkan karena pentingnya kebudayaan itu dalam merealisasi kemanusiaan manusia serta kelangsungan hidupnya. Manusia sebagai pribadi menempati posisi sentral dalam kebudayaan. Kebudayaan bukanlah suatu substansi yang terlepas sama sekali dari pribadi-pribadi. Dapat dikatakan bahwa manusia adalah "pencipta" dan sekaligus juga tujuan kebudayaan.
Setiap ahli dapat memberi konsepnya tentang kebudayaan dengan penekanan yang beragam. Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1987). Dalam konteks ini, pemahaman tentang kebudayaan merupakan juga hasil karya budi sesuai dengan inti gagasan yang terkandung dalam istilah kebudayaan sebagai budi dan saya. Walaupun demikian haruslah selalu diingat bahwa kebudayaan tidak hanya merupakan aktivitas intelektual saja. Ia merupakan hasil jalinan dari semua kemungkinan dengan kekuatan kodrat, terutama kodrat "dalam" manusia, di bawah bimbingan akal budi.
Akal budi yang bijaksana memungkinkan manusia menertibkan dunia serta merealisasikan segala potensi di dalamnya secara bertingkat dan berproses dalam ruang dan waktu untuk mencapai kemanusiaannya yang sempurna, lengkap dan utuh. Dengannya, pada titik tertentu, kalau disimak secara teliti dan mendalam kebudayaan pada hakikatnya adalah proses humanisasi, suatu proses peningkatan hidup manusia yang lebih baik dalam suatu masyarakat. Karena manusia adalah makhluk menyejarah maka kebudayaan pun bersifat menyejarah. Dalam konteks ini pula, ia menjadi harta warisan yang dititip secara sadar dan bebas kepada generasi selanjudnya sebagai suatu cara hidup. Karena itu, kebudayaan adalah keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia dalam pelbagai bidang kehidupan yang diwariskan satu generasi kepada generasi berikutnya untuk memahami diri dan demi kehidupan manusiawi yang lebih baik dan harmonis.
Manusia adalah makhluk yang serba belum selesai. Karena itu ia cenderung dan ingin untuk mencapai kesempurnaannya. Dengan singkat dan padat dikatakan bahwa manusia selalu berada dalam proses menjadi manusia yang penuh dan lengkap. Segala usaha dari berbagai bidang kehidupan, termasuk kebudayaan, mestinya diarahkan kepada tujuan utama tersebut.
Manusia pun terbuka untuk masa depannya. Hidupnya selalu berada dalam proses yang dinamis, maka tidaklah heran manusia selalu berada dalam ketegangan untuk bergerak ke masa depan. Dalam kaitan dengan hal tersebut kebudayaan sebagai ekspresi kehidupan atau pencerminan identitas setiap orang atau sekelompok orang yang hidup dalam kondisi historis dan sosial yang bersifat dinamis. Sebuah literatur tua tetapi tetap relevan, yang ditulis oleh Peursen dalam "Strategi Kebudayaan" (1976) untuk mengafirmasi hal tersebut. Peursen, mengawaskan agar kebudayaan jangan dipandang sebagai suatu titik tamat atau keadaan yang telah tercapai. Kebudayaan itu ibarat sebuah cerita yang belum tamat, yang masih terus disambung. Setiap generasi haruslah menyadari bahwa ketika mereka menerima suatu kebudayaan dari generasi sebelumnya, pada saat yang sama juga mereka menerima tugas baru yang diletakkan ke atas pundak mereka yakni sebagai pewaris; yang terus menerus membutuhkan partisipasi aktif dari generasi-generasi selanjutnya.
Persoalan tentang partisipasi bukan sekedar diwujudkan dengan pewarisan pusaka lama atau benda-benda purba, melainkan terutama melalui belajar secara terus-menerus dan tetap menghayati nilai-nilai positif, seperti cara-cara bertingkah laku atau cara-cara bertindak.
Lebih jauh kebudayaan sebagai milik manusia berfungsi sebagai ruang lingkup realisasi diri. Segala sesuatu yang ada dalam diri manusia yang sebelumnya hanya berupa kemungkinan, diwujudkan dan diciptakan secara baru melalui kegiatan kebudayaan. Kebudayaan pun merupakan pedoman dan penghayatan tata nilai masyarakat. Semua nilai yang dianggap sebagai pedoman normatif diwujudkan dan dihayati dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari. Itu berarti bahwa berkat kesatuan budaya, sistem nilai yang sehat diterima secara umum di dalam masyarakat dapat membentuk tingkah laku manusia dan sekaligus tetap menjadi pandangan hidup dalam perkembangannya.
Semua manusia, siapapun, baik sekarang maupun yang akan datang, seturut kodratnya berkembang ke arah kesempurnaan juga melalui dan dalam kebudayaannya. Dengan demikian, tetaplah urgen bahwa kebudayaan layak dilestarikan oleh manusia sebagaimana mestinya.(Penulis: Christina Purwanti (Dosen Bahasa Indonesia, Universitas Pelita Harapan).
Posting Komentar