Berita-Cendana.Com- Jakarta,- Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan, mengecam keras pernyataan yang mengkategorikan pengemudi ojek online (ojol) sebagai pelaku UMKM. Ia menilai langkah tersebut merupakan bentuk pemutihan eksploitasi yang justru memperdalam ketidakadilan terhadap pekerja digital. Demikian disampaikan.
"Ini bukan solusi. Ini adalah upaya memutihkan praktik eksploitatif. Para pengemudi bekerja di bawah kendali ketat algoritma, ada target, ada penalti tersembunyi. Ini semua adalah karakteristik pekerja, bukan pelaku usaha mandiri," kata Aznil kepada media di Jakarta, Selasa (29/04/2025).
Bagi Aznil Tan rencana memposisikan ojol sebagai UMKM adalah menyesatkan. Skema UMKM sama sekali tidak menyentuh akar persoalan struktural yang dihadapi pengemudi dan kurir digital.
"Bagaimana mungkin mereka disebut UMKM sementara mereka sepenuhnya bergantung pada aplikator yang mengatur tarif, membatasi akses order, dan menentukan pendapatan tanpa ada perundingan setara? Ini bentuk pengingkaran terhadap relasi kuasa yang timpang antara perusahaan digital dengan para pengemudi," tegasnya.
Tawaran ojol sebagai UMKM dinilai sebagai bentuk distraksi yang keluar dari akar masalah. Menurutnya, hubungan para pengemudi dan kurir dengan platform digital sudah berbentuk ketergantungan struktural seperti relasi buruh dan majikan, bukan hubungan usaha bebas yang setara.
"Pemerintah harus berani mengakui realitas ini. Relasi antara platform dan pengemudi bukan kemitraan, melainkan ketergantungan satu arah yang eksploitatif. Mengaburkannya berarti menutupi ketidakadilan yang nyata," tambah Aznil.
Aznil juga membantah keras argumen pemerintah yang menyatakan bahwa bila pengemudi dijadikan pekerja formal maka hanya 10 persen yang akan terserap.
"Kalau saat ini 5 juta pengemudi bisa bekerja di platform, itu bukti bahwa pasar memang membutuhkan mereka. Dalih 'hanya 10% terserap' adalah manipulasi ketakutan untuk membenarkan eksploitasi. Berapa pun jumlah yang terserap itu soal supply and demand. Tugas negara adalah memperbaiki regulasi agar adil, bukan membiarkan ketidakadilan demi alasan mempertahankan pekerjaan," tegas Aznil.
Lebih lanjut, Aznil mengecam praktik over kapasitas dalam perekrutan ojol sebagai bukti nyata eksploitasi perusahaan platform.
"Over kapasitas dalam perekrutan adalah bukti eksploitasi. Aplikator merekrut sebanyak mungkin tanpa memperhitungkan kelayakan penghasilan pengemudi. Yang rugi para ojol, yang untung aplikator. Ini pemanfaatan manusia secara masif demi kepentingan korporasi," kecamnya.
Sebagai aktivis 98, Aznil Tan menyerukan agar momentum May Day 2025 dijadikan titik balik kebangkitan pekerja digital.
"Sistem perbudakan digital ini harus dilawan. Pada May Day 2025, seluruh pekerja digital ojol, kurir, pekerja lepas platform harus bersatu, bangkit, dan menuntut hak-haknya. Saatnya Indonesia membentuk Undang-Undang Pelindungan Pekerja Digital!" pungkas Aznil.(*).
Posting Komentar