Berita-Cendana.Com- Jakarta,- Ada anekdot pahit yang beredar di tengah masyarakat: "Saking sulitnya cari kerja di Indonesia, sampai dicarikan bapaknya." Sindiran getir ini menohok tajam praktik nepotisme yang semakin mengakar dalam kehidupan berbangsa.
Anekdot ini menjadi cermin kekecewaan publik terhadap kompetensi kerja yang kian tak sehat, akibat maraknya praktik “orang dalam” atau ordal istilah halus dari nepotisme. Situasi ini makin memprihatinkan di tengah sempitnya lapangan kerja dan tingginya angka pengangguran.
Kemarahan publik kembali memuncak ketika Presiden Joko Widodo yang semestinya menjadi penjaga moral bangsa dan simbol semangat reformasi justru menggunakan pengaruhnya, baik langsung maupun tak langsung, untuk membuka jalan bagi anak, menantu, dan kerabat dekatnya (‘Geng Solo’) menduduki posisi strategis di pemerintahan dan panggung politik nasional.
Nepotisme bukanlah hal baru di Indonesia. Pada era Orde Baru, praktik ini menjadi salah satu pilar utama yang menguatkan kekuasaan Presiden Soeharto. Keluarga Cendana, misalnya, menguasai berbagai sektor ekonomi dan pemerintahan melalui jaringan kekeluargaan dan kronisme.
Pada era Orde Baru (1966–1998), masyarakat memelesetkan istilah 'asas kekeluargaan' dalam UUD 1945 menjadi bahan sarkasme, seolah konstitusi merestui kekuasaan yang diwariskan turun-temurun. Padahal, asas tersebut seharusnya mencerminkan semangat gotong royong dan keadilan sosial dalam penyelenggaraan ekonomi nasional, bukan sebagai pembenaran bagi praktik nepotisme yang membungkus kekuasaan dengan prosedur demokrasi.
Dampak negatif nepotisme yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memicu meletusnya Reformasi 1998, yang menuntut Indonesia bebas dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sebagai respons, disahkanlah Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Namun, hingga kini, belum ada definisi hukum yang jelas dan operasional mengenai "nepotisme." Akibatnya, praktik ini terus berlangsung dan bahkan semakin kabur maknanya, terutama dalam konteks politik elektoral. Nepotisme kini sering diselubungi oleh mekanisme demokrasi seperti pemilu dan Pemilihan Presiden, seolah sah hanya karena mendapat dukungan dari rakyat.
Maka ketika Presiden Jokowi mulai mengkondisikan anak, menantu, dan jaringan keluarganya dalam berbagai posisi strategis, gelombang kemarahan publik pun meletus. Puncaknya terjadi saat putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang belum memenuhi syarat usia, tetap maju sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024 melalui perubahan kontroversial terhadap ketentuan konstitusi.
Begitu pula dengan menantunya, Bobby Nasution, yang maju dalam Pilkada Sumatera Utara 2024, serta anak sulungnya, Kaesang Pangarep, yang tiba-tiba muncul sebagai Ketua Umum partai politik meski tanpa rekam jejak politik yang jelas. Baik anak maupun menantu Jokowi tidak melalui proses panjang aktivisme atau perjuangan publik. Namun, keduanya melaju mulus ke panggung kekuasaan, seakan tanpa hambatan berarti.
Gelombang perlawanan terhadap praktik politik dinasti ini datang dari mahasiswa, kelompok masyarakat sipil, hingga partai besar seperti PDI Perjuangan. Namun, semua itu tak mampu menghentikan laju kekuasaan yang telah dikondisikan dengan rapi.
Badai perlawanan memang menerpa Presiden, namun kapal kekuasaan tetap berlayar tenang terlihat indah di permukaan, tetapi menyisakan luka dalam pada dasar demokrasi yang semakin tergerus.
Antara Seo dan Gibran
Dalam dunia politik modern, ukuran kepemimpinan tak lagi hanya dilihat dari keberhasilan membangun jalan atau menurunkan angka kemiskinan. Cara seorang pemimpin memperlakukan keluarganya dalam lingkar kekuasaan juga jadi sorotan penting. Apakah keluarga dijaga agar tidak ikut campur? Atau justru dimasukkan ke dalam panggung utama politik?
Ada contoh menarik menjadi perbandingan sensitivitas publik dan penegakan hukum yang sangat kontras antara Indonesia dan Korea Selatan.
Di Indonesia, publik ramai membicarakan kemunculan Gibran Rakabuming Raka, putra dari Presiden yang sedang berkuasa, Jokowi, maju sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2024. Gibran sempat terkendala usia minimum yang disyaratkan undang-undang.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memutuskan perubahan syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden, sehingga Gibran pun melenggang ke bursa Pilpres 2024. Banyak pihak menilai perubahan itu sarat dengan konflik kepentingan—terutama karena hubungan kekeluargaan antara Gibran dan Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang merupakan pamannya sendiri.
Putusan MK ini memicu polemik besar. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan bahwa putusan tersebut cacat secara etika dan moral. MKMK bahkan menjatuhkan sanksi kepada Anwar Usman karena dinilai melanggar prinsip integritas dalam proses pengambilan keputusan.
Namun anehnya, meskipun pelanggaran etik dan moralitas telah terbukti dan sanksi dijatuhkan, putusan MK yang membuka jalan bagi Gibran tidak dibatalkan. Di sinilah muncul kritik keras: MKMK dinilai “bermain dua kaki.”
Di satu sisi mengakui pelanggaran serius, tapi disisi lain tetap membiarkan hasilnya berlaku yang artinya, Gibran tetap sah menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Kisah ini memperlihatkan bagaimana hukum dan etika bisa bertabrakan di ruang politik. Keadilan menjadi abu-abu ketika kekuasaan dan hubungan darah saling terkait begitu erat.
Berbeda dengan Indonesia, Korea Selatan menunjukkan ketegasan dalam merespons potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh keluarga mantan pemimpin negara. Ketika muncul dugaan konflik kepentingan yang melibatkan Seo, menantu dari mantan Presiden Moon Jae-in, aparat penegak hukum segera bergerak.
Masyarakat Korea Selatan pun dengan lantang menuntut agar segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, apalagi yang melibatkan "keluarga istana", segera ditindak secara transparan. Di sana, tidak ada toleransi terhadap pelibatan anggota keluarga dalam urusan kekuasaan tanpa pengawasan yang ketat.
Kasus yang menimpa Moon Jae-in mungkin saja dianggap remeh di Indonesia, mengingat belum adanya definisi hukum yang tegas soal nepotisme. Namun bagi sistem demokrasi Korea Selatan yang menjunjung tinggi integritas, dugaan intervensi kekuasaan dalam penempatan anggota keluarga ke posisi strategis tetap dipandang sebagai pelanggaran serius.
Seo mulai menjadi sorotan publik ketika pada tahun 2018 ia ditunjuk sebagai direktur eksekutif di maskapai Thai Eastar Jet, padahal latar belakang dan pengalaman profesionalnya di industri penerbangan sangat terbatas. Penunjukannya memunculkan kecurigaan kuat bahwa ada pengaruh dari Moon Jae-in, yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden.
Meski posisi yang diemban Seo berada di sektor swasta dan bukan jabatan publik, kasus ini tetap dinilai sebagai praktik nepotisme. Jaksa menduga ada indikasi kuat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan potensi gratifikasi terselubung.
Selama menjabat hingga tahun 2020, Seo menerima kompensasi sebesar 223 juta won, termasuk gaji dan tunjangan lainnya. Jaksa menilai kompensasi itu sebagai bentuk suap tidak langsung kepada Moon Jae-in, mengingat hubungan eratnya dengan pendiri maskapai, Lee Sang-jik, yang kala itu juga menjabat sebagai Kepala Badan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) serta Startup Korea.
Meskipun Seo tidak didakwa secara langsung, perannya menjadi bukti kunci dalam dakwaan terhadap Moon Jae-in. Jaksa bahkan mencatat bahwa setelah Seo dipekerjakan, Moon menghentikan dukungan finansial kepada keluarga putrinya. Ini dianggap sebagai indikasi bahwa penghasilan Seo telah menggantikan dukungan tersebut sebuah fakta yang memperkuat dugaan adanya motif korupsi.
Saat ini, Seo memang tidak menghadapi proses hukum, namun keterlibatannya dalam kasus ini memicu pertanyaan serius tentang etika dan integritas dalam penunjukan jabatan, serta implikasinya terhadap reputasi dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Publik Korea Selatan, yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu nepotisme dan korupsi, memandang kasus ini sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh lingkaran dalam presiden. Reaksi keras publik mencerminkan ekspektasi yang tinggi terhadap integritas dan transparansi dalam pemerintahan, serta penolakan terhadap praktik yang dinilai merusak prinsip meritokrasi.
Secara keseluruhan, walau tak didakwa secara hukum, keterlibatan Seo telah merusak reputasinya di mata publik Korea Selatan, yang menilai bahwa posisinya diperoleh bukan karena kompetensi, melainkan karena koneksi keluarga dengan presiden. Ia kini menghilang dari sorotan publik dan tidak lagi diketahui aktif dalam kehidupan sosial atau profesional.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana negara seperti Korea Selatan menjaga ketat batas antara kekuasaan publik dan kepentingan pribadi, termasuk ketika yang terlibat adalah anggota keluarga pemimpin negara.
Perbandingan ini menunjukkan pentingnya budaya politik dan kekuatan masyarakat sipil. Di satu sisi, kita melihat politik keluarga dibungkus dengan mekanisme demokrasi. Di sisi lain, kita menyaksikan integritas dan transparansi ditegakkan, bahkan terhadap orang terdekat presiden.
Pertanyaannya: ke arah mana Indonesia akan melangkah?
Dari Ijazah Palsu sampai Pemakzulan
Usai KPU menetapkan kemenangan Prabowo–Gibran pada 20 Maret 2024, sebagian elite politik menyatakan isu politik dinasti telah usai, dengan dalih kotak suara memberi jawaban final. Namun, sorotan terhadap politik dinasti yang melekat pada Jokowi tetap mengemuka, karena publik masih menuntut tanggung jawab moral atas arah Indonesia pasca-pemerintahannya.
Meski legalitasnya ditegaskan lembaga resmi negara, aspek moral dan etika tetap disorot. Kalangan akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil menilai keterlibatan Gibran dalam kontestasi nasional sarat rekayasa struktural dan konsentrasi kekuasaan di lingkaran keluarga presiden.
Ini bukan semata persoalan legalitas administratif atau perolehan suara terbanyak, melainkan luka dalam bagi demokrasi yang mencederai nalar moral, menabrak etika, dan mengkhianati konsensus kebangsaan sebagai fondasi republik.
Bagi banyak orang, ini bukan soal kalah atau menang, melainkan runtuhnya etika dan goyahnya prinsip negara hukum. Kemenangan Gibran tak sekadar capaian politik, tapi menyisakan tanya besar: apakah hukum melayani keadilan, atau justru tunduk pada kekuasaan?
Kini, isu yang mengemuka bukan lagi perkara remeh mulai dari dugaan ijazah palsu Jokowi yang disuarakan kalangan ahli IT, hingga wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran yang digulirkan oleh sejumlah purnawirawan TNI.
Isu dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi kembali mencuat setelah Rismon Hasiholan Sianipar, mantan dosen Universitas Mataram, meragukan keaslian ijazah sarjana Jokowi dari UGM. Aksi demonstrasi pun digelar di UGM dan kediaman Jokowi di Surakarta, menuntut klarifikasi.
UGM membantah tegas tudingan itu, mengatakan Jokowi adalah alumnus sah Fakultas Kehutanan dan ijazahnya asli.
Pada 30 April 2025, Jokowi melaporkan lima orang ke Polda Metro Jaya atas dugaan fitnah terkait isu ini. Sebelumnya, tuduhan serupa sudah tiga kali digugat di pengadilan dan seluruhnya ditolak karena tak berdasar hukum.
Isu pemalsuan ijazah Jokowi, meski telah dibantah secara hukum oleh UGM dan pengadilan, tetap menggema dalam ranah simbolik dan persepsi publik. Di tengah kekecewaan terhadap arah demokrasi, isu ini menjadi kanal ekspresi atas ketidakpuasan yang lebih dalam terhadap konsolidasi kekuasaan politik dinasti.
Delegitimasi simbolik ini bukan semata soal fakta, melainkan soal kepercayaan yang terkikis. Ketika narasi pemalsuan terus bergulir meski lemah secara hukum, itu menandakan erosi kepercayaan terhadap integritas pemimpin dan kekecewaan atas jurang antara hukum formal dan rasa keadilan publik.
Di sisi lain, gerakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat pada pertengahan April 2025, dipelopori oleh sejumlah purnawirawan TNI dan tokoh masyarakat sipil. Mereka menilai keterpilihan Gibran lahir dari manipulasi hukum oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya lewat putusan yang mengizinkan pencalonannya meski belum memenuhi batas usia sesuai undang-undang.
Bagi mereka, pencalonan Gibran melanggar etika dan mencederai demokrasi. Wacana ini mencerminkan keresahan moral publik, bukan sekadar gugatan legal formal.
Namun, menurut pakar hukum tata negara, pemakzulan hanya dapat dilakukan bila wapres terbukti melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan, korupsi, atau tindakan tercela lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Prosesnya pun harus melalui mekanisme ketat: dimulai dari hak menyatakan pendapat oleh DPR, diuji di Mahkamah Konstitusi, dan diputuskan oleh MPR.
Meskipun prosedur hukum pemakzulan Gibran kompleks, wacana ini mencerminkan ketegangan antara legalitas formal dan tekanan moral dari sebagian masyarakat yang merasa demokrasi telah dilangkahi demi kepentingan politik kekuasaan.
Menariknya, dari delapan tuntutan Forum Purnawirawan TNI, tiga di antaranya langsung menyerang Jokowi dan keluarganya, menandakan perlawanan terhadap politik dinasti semakin menguat.
Tuntutan ini dianggap serius karena datang dari tokoh-tokoh berpengaruh seperti mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dan Jenderal (Purn) Fachrul Razi. Respons cepat dari Istana dan lembaga negara menunjukkan bahwa isu ini sangat sensitif dan tidak bisa dianggap remeh.
Dalam hal lain, pemerintahan Prabowo–Gibran terus mendapat respons negatif dari sebagian publik, meskipun survei menunjukkan tingkat kepuasan tinggi.
Dalam suasana politik yang penuh kecurigaan dan luka demokrasi, setiap langkah keliru dari Prabowo dapat dengan cepat menjadi sasaran bully publik.
Dalam teori politik, apabila sebuah pemerintahan dibangun di atas legitimasi yang dipertanyakan baik secara moral maupun prosedural kepercayaan publik akan rapuh.
Pemerintahan semacam ini rentan terhadap tekanan opini publik, kritik tajam, dan potensi delegitimasi, terutama jika kinerja kepemimpinan gagal memenuhi ekspektasi rakyat.
Sementara dari kelompok Jokowi dan Gibran dengan mudah mematahkan kritik-kritik tersebut, baik dari pendukung Jokowi maupun pemerintah yang masih kental dengan jejak Jokowi. Narasi tandingan pun dimainkan, menyebut para pengkritik etika dan moralitas politik dinasti sebagai suara "sakit hati" yang belum bisa move on menerima kekalahan.
Berbagai lembaga survei dirilis untuk menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Prabowo–Gibran mencapai 80 persen dalam 100 hari pertama.
Tingkat kepuasan terhadap Wakil Presiden Gibran juga tercatat tinggi, yaitu 79,8 persen berdasarkan survei Rumah Politik Indonesia pada akhir April 2024. Survei ini mengklaim bahwa Gibran mampu menepis berbagai isu negatif yang menerpanya bukan lewat pernyataan, tetapi melalui aksi dan kerja nyata.
Selain itu, survei ini membangun narasi bahwa kehadiran Gibran sebagai wakil presiden memberikan dampak positif terhadap persepsi publik atas kinerja pemerintahan.
Aksi tandingan juga dilakukan, baik melalui demo maupun pernyataan sikap dari kelompok purnawirawan yang masih dapat dikendalikan oleh Jokowi dan Wakil Presiden Gibran. Kelompok ini meliputi organisasi purnawirawan TNI-Polri seperti PEPABRI, LVRI, PPAD, PPAL, PPAU, PP Polri, dan PERIP.
Persatuan Purnawirawan TNI-Polri, yang anggotanya termasuk Jenderal (Purn) Agum Gumelar hingga Jenderal (Purn) Wiranto, turut menyatakan dukungannya terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Tidak hanya itu, Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, turut berkomentar. Dengan pengaruh besar di media sosial yang diikuti jutaan orang, ia membangun narasi bahwa polemik seputar Gibran di Mahkamah Konstitusi hanyalah pemicu permukaan. Menurut Dedi, akar permasalahan sebenarnya adalah rasa marah yang timbul.
Kemarahan tersebut, menurut Dedi, muncul karena Presiden Jokowi dan keluarganya secara terbuka mendukung pasangan Prabowo Gibran. Dukungan ini dianggap telah mengurangi kekuatan calon presiden lain dan memperbesar potensi kekalahan mereka. Dedi juga menegaskan bahwa Gibran memenuhi kualifikasi, seperti kemampuan berbahasa Inggris dan kepemimpinan yang terbukti saat menjabat Walikota Surakarta.
Sebagai contoh, Dedi menyebutkan pendirian pabrik pengolahan sampah menjadi energi listrik sebuah prestasi yang menurutnya bahkan belum terwujud di Bantar Gebang. “Anak presiden sampai harus membungkukkan badan itu hal yang berat,” sindirnya, menanggapi ekspektasi yang dianggap tidak realistis terhadap Gibran.
Tak bisa disangkal, dalam dunia politik, narasi memegang peranan penting. Dalam konteks isu pemakzulan Gibran, propaganda yang dibangun oleh kubu Jokowi Gibran tampaknya bertujuan menciptakan citra positif tentang kepemimpinan mereka.
Namun, apakah kritik terhadap politik dinasti hanya dianggap sebagai suara bising tanpa makna? Apakah persoalan politik dinasti dan reputasi seseorang yang pantas menjadi nomor dua di negara ini sesederhana itu?
Bagi banyak orang, ini bukan hanya soal kalah atau menang, melainkan soal rusaknya etika dan ambruknya prinsip negara hukum. Atau, akankah ini menjadi bukti bahwa Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja dan mulai menunjukkan potensi disintegrasi?
Apakah Politik Dinasti Tetap Berjaya?
Apakah pemberantasan nepotisme dan politik dinasti hanyalah utopia dalam demokrasi Indonesia? Dengan rendahnya literasi politik dan kuatnya patronase, jawabannya cenderung ya.
Politik dinasti bukan hanya soal darah, tetapi juga sistem kekuasaan yang diwariskan kepada keluarga dan kroni. Di banyak daerah, jabatan publik telah menjadi “aset” keluarga yang diwariskan tanpa rasa malu, dan publik seringkali memaklumi hal ini sebagai sesuatu yang “lumrah.”
Selama suara rakyat lebih mudah dibeli dengan bantuan sesaat atau popularitas semu, akal sehat demokrasi tetap lumpuh. Politik dinasti pun tumbuh subur di panggung utama, bukan di balik layar.
Lemahnya penegakan hukum terhadap nepotisme, absennya regulasi yang melarang konflik kepentingan dalam pemilu, dan stagnasi kaderisasi partai politik memperdalam krisis demokrasi. Hukum seringkali hanya sebatas prosedur, sementara etika politik hampir tidak bernyawa.
Di Korea Selatan, nepotisme dianggap sebagai luka sejarah warisan rezim otoriter yang tak boleh terulang. Namun, di Indonesia, politik kekeluargaan justru dirayakan sebagai “prestasi.” Jabatan publik kini menjadi simbol status sosial, bukan amanat rakyat.
Maka, jika ditanya apakah politik dinasti akan berjaya di masa depan? Dengan arah yang ada saat ini, jawabannya: hampir pasti.
Apakah sejarah akan mencatat bahwa pemberantasan nepotisme termasuk politik dinasti hanyalah utopia dalam demokrasi Indonesia? Melihat rendahnya literasi politik dan kuatnya kultur patronase, jawabannya tampak pesimis.
Politik dinasti bukan sekadar soal garis keturunan. Ia adalah praktik sistemik yang menjadikan kekuasaan sebagai hak waris bagi keluarga, kroni, hingga lingkaran oligarki. Di banyak daerah, kursi kepala daerah, legislatif, dan jabatan strategis diwariskan secara terang-terangan. Anehnya, praktik ini sering dianggap “wajar” bahkan “efisien.”
Yang melanggengkan bukan hanya elit politik, tetapi juga rakyat. Ketika suara pemilih ditentukan oleh bantuan sesaat, popularitas, atau kedekatan emosional, maka akal sehat demokrasi menjadi tumpul. Di ruang inilah politik dinasti tumbuh subur, tak lagi merasa perlu bersembunyi.
Penegakan hukum yang lemah, regulasi konflik kepentingan yang ompong, dan partai politik yang gagal melakukan kaderisasi memperparah situasi. Hukum kita berhenti di formalitas, sementara etika politik nyaris tak punya ruang hidup.
Bandingkan dengan Korea Selatan, yang alergi terhadap nepotisme karena trauma otoriterisme. Indonesia sebaliknya: permisif. Politik kekeluargaan bukan ditolak, tapi dirayakan sebagai simbol “keberhasilan sosial.”
Maka jika ditanya apakah politik dinasti akan berjaya di masa depan? Segala tanda menunjukkan: iya.
Selama kesadaran publik belum terbangun dan sistem tidak direformasi, politik dinasti bukan hanya akan tetap ada, ia akan menjadi wajah resmi demokrasi Indonesia yang baru: demokrasi rasa kekeluargaan.
Kalau begitu, kenapa tidak sekalian saja Indonesia deklarasikan diri sebagai negara Monarki Demokratis? Daripada terus menjadi bangsa munafik, pura-pura demokratis padahal kuasa diwariskan antar anggota grup WhatsApp keluarga.
Ubah saja Undang-Undang Dasar, bahwa Presiden boleh diwariskan ke anak, menantu, cucu, bahkan besan asal masih satu trah. Tak perlu kampanye, cukup unggah foto keluarga harmonis di Instagram elektabilitas langsung melonjak.
Partai politik? Tak usah kaderisasi. Cukup aktifkan jalur belakang keluarga. Kalau perlu, dirikan Universitas Politik Keturunan (UPK). Syarat masuk: bermarga terkenal atau pernah sekamar dengan pejabat. Lulusannya otomatis direkomendasikan mengisi jabatan strategis dari kepala desa hingga presiden direktur BUMN.
Sebagai bentuk transparansi, ubah saja KPU menjadi Komisi Pewarisan Umum. Bukan lagi mengurus pemilu, tapi menyusun silsilah kekuasaan berdasarkan darah biru dan jumlah likes di TikTok.
Dengan sistem ini, kita bisa menghemat APBN, mencegah konflik horizontal, dan tentu saja menjaga stabilitas nasional. Tak ada lagi warga sipil masuk penjara karena kritik, tak ada lagi mahasiswa berdarah-darah karena protes. Semua sudah by design.
Kalau negara asing bertanya, cukup jawab: “Ini demokrasi lokal. Demokrasi gotong royong. Demokrasi kekeluargaan.”
Bahkan, model ini layak diekspor ke luar negeri. Kita beri nama: Indonesia’s Family-Based Governance Model stabil, otentik, dan bebas risiko kalah.
Tak ada lagi kompetisi sengit. Tak perlu debat capres. Tak perlu visi-misi. Semua sudah selesai. Sudah disepakati di meja makan keluarga.(Aznil Tan).
Posting Komentar