Yohanes Sulayman Tak Rugikan Keuangan Negara

Berita-Cendana.com- Kupang,- Yohanes Sulayman (YS), salah satu debitur Bank NTT yang terancam hukuman 26,5 tahun oleh tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak terbukti telah merugikan keuangan negara sesuai dengan dakwaan JPU sesuai Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor.


Demikian fakta persidangan yang dibeberkan Tim Penasihat Hukum (PH) terdakwa YS yang terdiri atas Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum, Chindra Adiano, SH, MH, CLA dan Nurmawan Wahyudi, SH, MH (dari Kantor Hukum Amos H.Z. Taka & Associates) dalam pledoi/nota pembelaannya yang disampaikan dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dju Johnson Mira Manggi, SH, M.Hum didampingi anggota Majelis Hakim Ali Muhtarom, SH, MH dan Ari Prabowo, SH di Pengadilan Tipikor Kupang, Kamis (19/11/20). 


Sesuai fakta persidangan, jelas Tim PH, kliennya tidak terbukti merugikan keuangan negara.  “Berdasarkan  uraian yang didasari dengan fakta persidangan, yang kemudian dianalisa berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan, doktrin, dan keterangan ahli diatas, maka Penasehat Hukum terdakwa menyatakan unsur dapat merugikan Keuangan Negara tidak terpenuhi,” tandas Nurmawan, SH, MH.


Pendapat Tim PH tersebut didasarkan pada fakta persidangan bahwa saksi Ahli Ahscin yang penyidikan diminta JPU untuk menghitung kerugian negara (yang BAP-nya dibacakan JPU, red) melakukan perhitungan kerugian Negara tanpa diperhitungkan nilai agunan milik terdakwa.


“Lebih parahnya lagi JPU dalam surat tuntutannya langsung menghitung semua asset milik terdakwa yang dijaminkan sebesar Rp. 16.105.000.000 saja berdasarkan penilaian KJPP sisco. Sementara berdasarkan fakta hukumnya yakni terdapat penilaian agunan juga milik terdakwa pada saat pengajuan pertama permohonan kreditnya. JPU juga tidak menghadirkan saksi KJPP sisco. Bagaimana kemudian yakin bahwa kekurangan sebesar kewajiban terdakwa sebesar kurang lebih Rp 33.000.000.000? Lebih konyolnya lagi asset milik terdakwa belum dilakukan penjualan,” ujar Nurmawan.  


Sehingga menurut PH, apabila Majelis Hakim tetap memandang bahwa peristiwa hukum ini menimbulkan kerugian Negara maka logis secara hukum untuk menyatakan, “bahwa dengan belum dilakukannya perhitungan nilai agunan yang telah diserahkan tersebut sebagai salah satu komponen dalam menghitung jumlah kerugian negara maka belum terjadi adanya kerugian keuangan Negara dalam peristiwa kredit Bank NTT atas nama CV MM Linen,” baca Nurmawan.  


Selain itu, lanjut Nurmawan, bila dicermati dakwaan dan Tuntutan Penuntut Umum terkait dengan Penuntut Umum dalam membuktikan unsur dapat merugikan keuangan negara, menunjukan bahwa kerugian keuangan negara dimaksud tidak nyata dan tidak pasti jumlahnya.

Alasannya, pertama, bahwa dalam tuntutan Penuntut Umum ada menguraikan angka  kewajiban Terdakwa sebagai kerugian negara tidak pasti dan menyebut angka kerugian negara yang berbeda-beda, yakni Rp 51.326.590.383,- ; Rp 51.436.227.480,-; Rp 52.324.223.334,- dan Rp. 49.370.040,435,- serta Rp 33.265.040.435.  “Perbedaan angka nilai kerugian dimaksud telah membuktikan bahwa kerugian dimaksud tidak nyata dan tidak pasti jumlahnya sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara,” tandasnya. 


Selain itu, kerugian negara hasil perhitungan Ahli Akuntan Pulik M. Achsin, yang menghitung kerugian negara dari kredit macet CV. MM Linen Indonesia adalah sebesar Rp 49.370.040.435,- (Empat puluh sembilan milyar tiga ratus tujuh puluh juta empat puluh ribu empat ratus tiga puluh lima rupiah), sesungguhnya hasil hitungan  kerugian keuangan negara tersebut tidak nyata dan tidak pasti jumlahnya.


Menurut Tim PH, bahwa ahli Akuntan Publik tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk menyatakan  atau men-declear telah terjadi kerugian keuangan negara sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar dalam membuktikan unsur dapat merugikan keuangan negara dalam kasus ini; 

Akuntan Publik, lanjut PH, juga tidak menghitung dan mengurangkan dengan nilai asset yang dijaminan, bunga dan pokok serta komitment fee yang telah disetor  oleh Terdakwa. “Akuntan Publik juga tidak memperhitungkan  restrukturisasi  yang telah disetujui dimana belum ditindaklanjuti dengan addendum sehingga pelaksanaan kewajiban debitur ter-hold atau terhenti sehingga tidak dapat memastikan kualitas kredit (kolektabilitas 1,2,3,4 atau 5)  dan berapa kewajiban pokok dan bunga yang harus dibayarkan oleh debitur,” ujar Nurmawan.

 

Menurut ahli Perbankan  Dr. Prawitra Thalib, SH.M.H, jelas PH, ketika restrukturisasi disetujui maka debitur dibenarkan untuk tidak membayar sampai dilakukan addendum perhitungan ulang pokok, bunga dan jadwal ulang sehingga tidak terjadi kekurangan atau kelebihan bayar. 

Ahli perbankan juga menegaskan bahwa unsur kerugian negara yang diduga muncul dalam dugaan tindak pidana korupsi, khususnya dalam hubungan kredit antara debitur dengan kreditur, semestinya melihat parameter saham yang ada di dalam Bank Pemerintah yang memberikan kredit tersebut. “Apabila nilai saham yang terdapat di dalam penyetoran modal saham berkurang karena adanya indikasi perbuatan secara melawan Hukum yang dilakukan oleh debitur macet, maka ada dugaan potensi kerugian negara di dalamnya,” ujar Nurmawan.


Namun sebaliknya, lanjut Nurmawan, bila secara nyata tidak terdapat penurunan nilai saham dalam setoran modal, hal ini tidak menunjukkan adanya potensi kerugian keuangan negara yang nyata. “Dalam hal ini, apabila terdapat penurunan deviden, terdapat penurunan laba, ini hanyalah merupakan resiko bisnis semata,” bebernya.(tim).

0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot