Berita-Cendana.Com- Kupang,- CIRMA bekerja sama dengan Yayasan Media Flores Peduli (YMFP) mengupas tuntas terkait delapan tantangan serius bagi petani di bagian Timor Barat, melibatkan para jurnalis di Nusa Tenggara Timur untuk berdiskusi sejauh mana ketajaman pena Jurnalistik terkait krisis iklim bagi petani.
Demikian disampaikan oleh Senior Advisor Yayasan CIRMA Berchmans Mau Bria saat pembukaan kegiatan Peliputan Jurnalis untuk Perkuat Liputan Keadilan Iklim di NTT yang digelar CIRMA bersama YMFP di Swiss-Belhotel Kupang pada Sabtu, 22 November 2025.
CIRMA meminta media lebih berani untuk menggaung-kan isu keadilan iklim. Menurut Cirma bahwa media atau karya jurnalistik itu memiliki posisi yang sangat strategis dalam melakukan advokasi terkait adaptasi iklim, jadi media harus lebih tegas dan lugas untuk tetap menggaung-kan perubahan iklim, tegas Mans Mau Bria.
Pendapatan petani makin hari makin menurun, itu menunjukan bahwa ancaman kekurangan pangan masyarakat di lumbung-lumbung mulai menurun, kelaparan mulai mendekat. Hal itu terjadi bukan masalah biasa tetapi itu masalah yang serius sehingga semua stakeholder memberikan perhatian serius, tegas Mans Bria.
Pemberitaan media perlu menghubungkan data iklim dengan pengalaman keseharian masyarakat lokal, gagal tanam dan gagal panen tidak menentu, karena yang menjadi sebab akibat itu petani kekurangan informasi terkait musim hujan kapan turun, katanya.
BMKG diminta juga untuk membuat format informasi yang mudah dipahami dan diperoleh petani, supaya jangan kekurangan informasi terkait perubahan iklim, karena tidak semua petani memiliki akses digital untuk memperoleh informasi terkait iklim, ucap Mans.
Selain itu, Direktur Cirma, Jhon Ladjar membeberkan delapan tantangan di petani, berdasarkan hasil pendampingan CIRMA sejauh ini, CIRMA mendokumentasikan delapan persoalan utama petani yang menghambat kapasitas petani kecil dalam menghadapi perubahan iklim.
Delapan Tantangan Serius bagi petani sebagai berikut;
1.Krisis air. Sebanyak 25 dari 30 desa dampingan tidak memiliki sumber air permanen untuk pertanian.
2. Minim alat mesin pertanian (alsintan). Bantuan sering tidak tepat sasaran dan tidak diurutkan menurut kebutuhan desa.
3. Lahan sempit dan terpencar. Fragmentasi lahan membuat efisiensi produksi menurun.
4. Ketergantungan pupuk kimia. Penggunaan tanpa kontrol merusak struktur tanah dan menurunkan kesuburan jangka panjang.
5. Bibit terlambat dan tidak merata. Distribusi tidak mengikuti kalender tanam yang berubah akibat iklim.
6. Minim informasi iklim. Petani menerima perkiraan cuaca terlambat atau tidak memahami informasi teknis dari BMKG.
7. Kelompok tani tidak berfungsi optimal. Banyak kelompok hanya aktif saat ada bantuan program, bukan sebagai unit produksi.
8. Pendampingan tidak berkelanjutan. Banyak program pemerintah berhenti setelah proyek selesai sehingga inovasi tidak bertahan.
Menjawab persoalan tersebut, CIRMA mengembangkan pendekatan Triple-A: Attitude (mengubah mentalitas dan pola pikir bertani), Access (memperluas akses teknologi, pembiayaan, dan pasar), serta Asset (memperkuat aset produktif dan sosial petani.(*).

Posting Komentar