Berita-Cendana.Com- TTS,- Angka kekerasan yang kian meningkat di Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi tamparan keras terhadap Pemerintah Daerah. Diketahui bahwa pada tahun 2025 dianggarkan 500 juta kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) TTS, namun hingga Oktober baru terserap sekitar 50 persen sedangkan angka kekerasan sebatas pelaporan tanpa penyelesaian.
Demikian data tersebut yang diperoleh dari berbagai sumber tim media ini belum lama ini.
Informasi lainya yang diperoleh dari Anggota DPRD TTS Dr. Marten Tualaka, SH., MH mengakui bahwa kekerasan Seksual terhadap perempuan dan anak di TTS ini sangat tinggi. TTS saat ini berada di nomor urut 1 di seluruh Kabupaten yang ada di 22 Kabupaten Kota di NTT, sehingga DPRD dengan dana pokok pikiran (POKIR) menggenjot di Desa-desa untuk melakukan sosialisasi pencegahan sehingga dapat menekan angka itu, katanya.
“Dengan kegiatan ini, bisa menjadi corong untuk pentingnya, meminimalisir kekerasan terhadap perempuan dan anak. Karena TTS saat ini angka sangat tinggi sehingga dengan sosialisasi ke kampung-kampung ke desa-desa, diharapkan ke depan bisa menekan angka tersebut,” harap Marten.
Lanjut Marten, sedangkan kekerasan secara fisik dan psikis terhadap perempuan dan anak di Kabupaten TTS berada pada nomor urut dua setelah Kota Kupang, informasi itu disampaikan pada Selasa, 2 Desember 2025 saat melakukan sosialisasi pencegahan di Desa Saenam Kecamatan Nunkolo TTS.
Setelah kegiatan sosialisasi tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak masyarakat menyambut baik hal itu. Karena hal itu sangat bermanfaat untuk menyadarkan masyarakat di pedesaan yang belum dijangkau oleh jaringan internet. Karena di daerah-daerah pedalaman TTS seperti itu sangat marak kekerasan perempuan dan anak sering terjadi di wilayah yang belum terjangkau oleh jaringan internet, kata Marten.
Sesuai dengan keadaan negara kita baik itu peraturan pemerintah peraturan daerah wajib hukumnya seluruh masyarakat harus mengetahui agar bisa taat asas, pinta anggota DPRD TTS itu.
Kabupaten TTS itu memiliki 278 desa kelurahan, sehingga melakukan sosialisasi di desa-desa pilihan supaya dapat menjangkau masyarakat yang tidak memperoleh jaringan internet agar ada pemerataan informasi tentang hal ini, ucap Marten.
Melalui dana pokir DPRD TTS, dalam hal ini Marten Tualaka melakukan sosialisasi di Kantor Desa Saenam dengan narasumber, Marten Tualaka, Pemerintah Daerah, SEKDA TTS Seperius Edison Sipa, pihak Polres TTS dalam hal ini Kanit PPA. Perwakilan dari Kejaksaan TTS. Perwakilan dari Pengadilan yaitu, Panitera.
Hadir pada saat itu, yang ditargetkan awal 50 orang tetapi masyarakat sangat antusias sehingga menjadi 70 orang yang ikuti sosialisasi tersebut, hadir juga tim dari P3A TTS, Polres TTS, Kejaksaan Soe serta Pengadilan Negeri Soe, kegiatan di Desa Saenam, yang dikoordinir oleh Camat Nunkolo, Agustinus Neonane, SPt dan Kepala Desa Saenam, Eduard Tualaka, SH.
Terpisah Honing Alvianto Bana kepada media bahwa dari tahun 2021 hingga 2024 saja, tercatat lebih dari 395 kasus kekerasan dengan pola yang berulang dari tahun ke tahun. Jenis kasus yang paling banyak muncul bukan hanya kekerasan dalam rumah tangga, tapi juga persetubuhan anak, penelantaran, dan ingkar janji menikah. Hal itu merupakan suatu bentuk kekerasan relasional yang menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan hukum terhadap perempuan di TTS.
"Data terbaru tahun 2025 pun tidak menunjukkan perubahan, berarti: hingga Oktober tercatat 55 kasus baru, namun hanya 10 kasus yang dinyatakan tuntas. Artinya, hampir 80 persen korban belum memperoleh keadilan,”.
Lanjut Honing bahwa lebih mencengangkan lagi, sebagian besar kasus yang menyangkut anak justru merupakan kasus persetubuhan dan pelecehan seksual, dengan angka mencapai 17 anak menjadi korban pada 2025. Tren ini konsisten dengan data tahun-tahun sebelumnya, di mana setiap tahun selalu muncul antara 20 hingga 30 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Fakta ini seharusnya menjadi tanda bahaya bagi pemerintah daerah, tetapi hingga kini tak ada langkah sistematis yang benar-benar melindungi mereka.
Dirinya menilai, pola data yang stagnan ini membuktikan dua hal: pertama, bahwa DP3A TTS gagal menjalankan fungsi perlindungan dan pemulihan korban; kedua, bahwa pemerintah daerah hanya berhenti pada tahap pelaporan tanpa aksi nyata. Jika pada 2021 terdapat 91 kasus dan pada 2024 meningkat menjadi 107 kasus, maka itu bukan tanda keberhasilan pencatatan, melainkan indikasi kegagalan pencegahan. Pemerintah tampak lebih sibuk menulis angka daripada menolong korban.
Honing, tak hanya soal sumber daya manusia, kegagalan DP3A juga tampak dari pengelolaan anggaran. Dari total Rp. 500 juta dana penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2025, hingga Oktober baru terserap sekitar 50 persen. Artinya, separuh anggaran justru dibiarkan mengendap ketika kasus terus bertambah dan korban menunggu pertolongan. Demikian disampaikan oleh Honing Alvianto Bana dari komunitas RIMPAF TTS kepada media ini melalui WhatsApp pribadinya pada Sabtu, 1 November 2025.(*).

Posting Komentar