Diduga Bank NTT 'Rampok' Uang Nasabah SS Rp 10,2 M

Berita-Cendana.Com- Kupang,- NASIB naas menimpa salah satu nasabah (bukan debitur, red) Bank NTT, Stefanus Sulayman (SS) yang menjadi salah satu terdakwa kasus dugaan korupsi kredit macet Bank NTT. Walaupun SS tidak pernah meminjam dari Bank NTT, namun Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntutnya bersalah dan merugikan negara hingga Rp 66 Milyar.


Aneh memang, tapi itulah yang dialami SS. Ia tidak meminjam sepeser rupiah pun dari Bank NTT, namun ia terancam penjara hingga 33,5 tahun. Ancaman kurungan badan dan denda yang dituntut oleh JPU kepada SS jauh lebih tinggi dibandingkan tuntutan JPU kepada para debitur (yang katanya macet, red) Bank NTT.


Bahkan berdasarkan fakta persidangan, SS telah dirugikan hingga Rp 10,2 Milyar oleh Bank NTT.  Kerugian yang dialami SS karena rekeningnya dibobol (debet otomatis, red) senilai Rp 3,4 M (tanpa sepengetahuan SS, red). Selain itu, SS juga diminta membeli aset dari debitur macet senilai Rp 6,8 Milyar (namun tidak pernah diserahkan sertifikat/surat-suratnya kepada SS. Hal itu telah dilaporkan SS ke Polda Jatim, namun beberapa hari kemudian ia ditangkap Tim Jaksa Kejati NTT.


Tim Penasihat Hukum (PH) Stefanus Sulayman yang diwawancarai usai pembacaan pledoi, Selasa (24/11/20) membeberkan adanya kerugian yang dialami oleh kliennya dari debet otomatis Rp 3,4 Milyar dan dan pembelian aset Rp 6,8 M tersebut.

Menurut Tim PH, sesuai fakta dalam persidangan, saksi-saksi dari Bank NTT mengungkapkan adanya debet otomatis dengan nilai sekitar Rp 3,4 Milyar dari rekening milik Stefanus Sulayman. Juga adanya pembelian aset debitur macet senilai Rp 6,8 Milyar.


Anggota Tim PH Stefanus Sulayman, Nurmawan Wahyudi, SH, MH mengungkapkan, debet otomatis untuk membayar cicilan debitur macet Bank NTT tersebut tanpa sepengetahuan Stefanus Sulayman sebagai pemilik rekening. “Majelis Hakim sempat berkomentar bahwa debet otomatis yang tanpa sepengetahuan SS sebagai nasabah merupakan ‘perampokan’ terhadap nasabah,” tandas Nurmawan.


Komentar itu, lanjut Nurmawan, dikemukakan Ketua Majelis Hakim saat menanggapi keterangan saksi dari Bank NTT.  “Dalam persidangan, para saksi dari Bank NTT mengakui bahwa pihak Bank NTT melakukan debet otomatis dengan nilai sekitar Rp 3,4 Milyar untuk menutup kredit macet debitur Bank NTT agar bisa menurunkan NPL (Non Performing Loan) tanpa sepengetahuan klien kami Stefanus. Kalau bukan rampok atau bobol, apa namanya?” ungkapnya.


Selain itu, beber Nurmawan, kliennya juga ditelepon (saat berada di luar negeri, red) oleh oknum pejabat Bank NTT untuk membeli aset debitur macet Bank NTT. “Disepakati nilainya Rp 6,8 Milyar, namun setelah dibayar, hingga saat ini aset tersebut tidak diserahkan ke klien kami. Tapi anehnya, kog bisa dijadikan bukti oleh kejaksaan?” kritiknya.


Menurut Nurmawan, pihaknya menghargai tuntutan JPU, tapi mengapa tidak ada pertimbangan yang meringankan dari Tim JPU? “Padahal kalau dilihat di fakta persidangan berdasarkan keterangan para saksi dan bukti-bukti, Stefanus banyak membantu bank NTT Cabang Surabaya. Ketika ada yang macet, mereka minta tolong untuk membeli aset debitur macet untuk menurunkan NPL bank NTT, tetapi itu tidak dilihat oleh JPU untuk dijadikan sebagai pertimbangan yang meringankan,” ujarnya kesal.


Selain itu, lanjut Nurmawan, apabila dalam penegakan hukum seseorang yang belum pernah dihukum sebelumnya maka itu merupakan salah satu kategori yang harusnya menjadi pertimbangan yang meringankan. “Stefanus juga sudah berkeluarga dan merupakan tulang punggung keluarga. Tapi mengapa untuk Stefanus Sulayman JPU tidak mempertimbangkan itu,” kritiknya.


Hal senada juga dikatakan Chindra Adiano, SH, MH, CLA. “Kalau kita mau fair, yang dirugikan dalam kasus ini adalah Stefanus Sulayman, bukan Negara. Di sini sudah jelas ada debet otomatis Rp 3,4 Milyar yang dipakai untuk menutup kredit macet debitur Bank NTT. Ini kan stefanus dirugikan,” bebernya.


Selanjutnya, kata Chindra, Stefanus diminta membeli aset debitur macet Bank NTT (karena ia dikenal sebagai pelaku jual-beli aset, red) senilai Rp 6,8 Milyar. “Stefanus sudah membayar Rp 6,8 sesuai nilai aset yang ditawarkan. Namun hingga saat ini aset tersebut tidak pernah diserahkan. Tapi anehnya aset tersebut masuk dalam sitaan Kejaksaan. Nah ini jelas, siapa yang dirugikan di sini?” timpalnya.



Kliennya, kata Chindri, telah melaporkan masalah pembelian aset senilai Rp 6,8 Milyar yang tak pernah diserahkan aset tersebut oleh Bank NTT ke Polda Jatim. “Namun beberapa hari kemudian klien kami ditangkap Kejaksaan. Bantuan klien kami kepada Bank NTT juga tidak masuk pertimbangan yang meringankan. Itu kita sesalkan,” ujarnya kesal.


Hal senada juga dikatakan Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum. “Sebagai statement terakhir dari PH, dengan adanya kasus ini yang dimulai dengan perjanjian kredit di bank plat merah atau bank pemerintah, akan berujung di Tipikor. Sebab berangkat dari perjanjian kredit murni keperdataan, bisa berujung pidana korupsi bahkan berujung di bui. Ini akan memunculkan ketakutan di masyarakat kedepannya,” jelasnya.


Saat ditanya apakah proses hukum terhadap kliennya Stefanus Sulayman merupakan bentuk kriminalisasi terhadap nasabah Bank NTT? Ndaomanu mempersilahkan masyarakat untuk menilainya. “Yang pasti, SS tidak ada hubungan hukum sama sekali dengan Bank NTT. Silahkan masyarakat sudah cerdas. Masyarakat bisa menilainya sendiri,” ujar Melkianus. (YT/tim).

0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot