Dirut Bank NTT Mengelak Dikonfirmasi Terkait ‘Perampokan’ Uang Nasabah Rp. 10,2 M

Berita-Cendana.com-Kupang,- Direktur Utama Bank NTT, Alex Riwu Kaho yang berusaha dikonfirmasi wartawan di kantornya, Jumat (27/11/20) sore tidak berhasil ditemui karena sedang rapat. Dihubungi via WA, Alex tidak bersedia alias mengelak untuk memberikan penjelasan.


Alex berusaha dikonfirmasi wartawan terkait beberapa masalah yang terungkap dalam fakta persidangan, diantaranya terkait adanya upaya ‘perampokan’ uang nasabah atas nama Stefanus Sulayman senilai Rp 10,2 Miliar.


Sekretaris Dirut Bank NTT, Ibu Tresi yang datang menemui para wartawan menjelaskan kalau Dirut Bank NTT, Alex Riwu Kaho sedang rapat.  “Pak lihat saja sendiri, para tamu sudah berdatangan,” ujarnya sambil menunjuk para peserta rapat yang berjalan menuju ruang Dirut.


Para wartawan pun berupaya menghubungi Alex Riwu Kaho melalui pesan WA, namun Alex tidak bersedia untuk memberikan penjelasan.  “Mohon Maaf kami sedang rapat. Tentang hal tersebut adalah dinamika persidangan oleh karenanya kami tidak berkompeten untuk mencampuri dinamika persidangan, terimakasih,” tulis Alex mengelak. 


Direktur Pemasaran Kredit Bank NTT, Absalom Sine yang dimintai tanggapannya via pesan WA, juga tidak memberikan respon hingga berita ini ditayangkan.


Seperti diungkapkan Tim Penasihat Hukum (PH) Stefanus Sulayman yang diwawancarai usai pembacaan pledoi, Selasa (24/11/20) membeberkan fakta persidangan tentang adanya kerugian yang dialami oleh kliennya mencapai Rp. 10,2 Miliar. Menurut Tim PH, kliennya selaku pelaku jual-beli aset tidak pernah merugikan keuangan negara karena tidak pernah meminjam dari Bank NTT.


Bahkan kliennya justru dirugikan hingga sekitar Rp 10,2 Milyar karena pihak Bank NTT membobol rekening kliennya sekitar Rp 3,4 Miliar (mendebet otomatis tanpa sepengetahuan Stefanus Sulayman, red) untuk menutup kredit macet debitur lain.  


Tidak hanya itu, Bank NTT juga meminta Stefanus Sulayman membeli aset kredit macet debitur lainnya senilai Rp. 6,8 Miliar.  Namun setelah dibayar oleh Stefanus Sulayman, sertifikat/surat-surat dari aset senilai Rp. 6,8 Miliar tersebut tidak diserahkan kepada kliennya.  Hal itu telah dilaporkan SS ke Polda Jatim, namun beberapa hari kemudian ia ditangkap Tim Jaksa Kejati NTT.


Namun anehnya, Stefanus Sulayman didakwa Tim JPU melakukan korupsi yang merugikan negara hingga Rp. 66 Miliar (walaupun SS bukan debitur/hanya pelaku jual/beli aset, red) dan dituntut pidana penjara hingga 33,5 tahun bahwa kliennya selaku pelaku jual beli aset tidak pernah merugikan keuangan negara.  

   

Tim Penasihat Hukum (PH) Stefanus Sulayman yang diwawancarai usai pembacaan pledoi, Selasa (24/11/20) membeberkan adanya kerugian yang dialami oleh kliennya dari debet otomatis Rp. 3,4 Miliar dan dan pembelian aset Rp. 6,8 M tersebut.


Menurut Tim PH, sesuai fakta dalam persidangan, saksi-saksi dari Bank NTT mengungkapkan adanya debet otomatis dengan nilai sekitar Rp. 3,4 Miliar dari rekening milik Stefanus Sulayman. Juga adanya pembelian aset debitur macet senilai Rp. 6,8 Miliar.


Anggota Tim PH Stefanus Sulayman, Nurmawan Wahyudi, SH, MH mengungkapkan, debet otomatis untuk membayar cicilan debitur macet Bank NTT tersebut tanpa sepengetahuan Stefanus Sulayman sebagai pemilik rekening. “Majelis Hakim sempat berkomentar bahwa debet otomatis yang tanpa sepengetahuan SS sebagai nasabah merupakan ‘perampokan’ terhadap nasabah,” tandas Nurmawan.


Komentar itu, lanjut Nurmawan, dikemukakan Ketua Majelis Hakim saat menanggapi keterangan saksi dari Bank NTT.  “Dalam persidangan, para saksi dari Bank NTT mengakui bahwa pihak Bank NTT melakukan debet otomatis dengan nilai sekitar Rp. 3,4 Miliar untuk menutup kredit macet debitur Bank NTT agar bisa menurunkan NPL (Non Performing Loan) tanpa sepengetahuan klien kami Stefanus. Kalau bukan rampok atau bobol, apa namanya?” ungkapnya.


Selain itu, beber Nurmawan, kliennya juga di telepon (saat berada di luar negeri, red) oleh oknum pejabat Bank NTT untuk membeli aset debitur macet Bank NTT. “Disepakati nilainya Rp. 6,8 Miliar, namun setelah dibayar, hingga saat ini aset tersebut tidak diserahkan ke klien kami. Tapi anehnya, kok bisa dijadikan bukti oleh kejaksaan?” kritiknya.


Hal senada juga dikatakan Chindra Adiano, SH, MH, CLA. “Kalau kita mau fair, yang dirugikan dalam kasus ini adalah Stefanus Sulayman, bukan Negara. Di sini sudah jelas ada debet otomatis Rp.

 3,4 Miliar yang dipakai untuk menutup kredit macet debitur Bank NTT. Ini kan Stefanus dirugikan,” bebernya.


Selanjutnya, kata Chindra, Stefanus diminta membeli aset debitur macet Bank NTT (karena ia dikenal sebagai pelaku jual-beli aset, red) senilai Rp. 6,8 Miliar. “Stefanus sudah membayar Rp. 6,8 sesuai nilai aset yang ditawarkan. Namun hingga saat ini aset tersebut tidak pernah diserahkan. Tapi anehnya aset tersebut masuk dalam sitaan Kejaksaan. Nah ini jelas, siapa yang dirugikan di sini?” timpalnya.


Kliennya, kata Chindri, telah melaporkan masalah pembelian aset senilai Rp. 6,8 Miliar yang tak pernah diserahkan aset tersebut oleh Bank NTT ke Polda Jatim. “Namun beberapa hari kemudian klien kami ditangkap Kejaksaan. Bantuan klien kami kepada Bank NTT juga tidak masuk pertimbangan yang meringankan. Itu kita sesalkan,” ujarnya kesal. (Tim).

0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot