Aznil Tan Sebut Demokrasi Indonesia Hight Cost dan Brutal

Berita-Cendana.Com- Jakarta,- Kasus kekerasan antara kubu politik yang berbeda pandangan sering terjadi di tengah masyarakat. Kasus kekerasan menimpa Ade Armando pada aksi mahasiswa di gedung DPR RI (11/04/2022) digebukin oleh sekelompok aksi massa berbeda pandangan politik dengannya menjadi berita perhatian publik.


Aznil Tan mengungkap pengalamannya  pernah mengalami kekerasan fisik ditusuk saat melaksanakan sholat di masjid oleh orang berbeda pandangan politik dengannya. 


"Saya pun pernah jadi korban penusukan di Padang saat saya sholat di masjid oleh orang yang berbeda pandangan politik dengan saya. Sikap politik saya mendukung Jokowi dan Ahok di Pilkada 2017 menjadi kebencian oleh sekelompok orang berseberangan dengan saya. Eh sekarang, Ade Armando jadi korbannya," kata Aznil Tan ke media, Jakarta (12/04/2022).


Aznil menilai, sistem demokrasi yang  terbentuk sekarang melahirkan perilaku brutalisme di tengah masyarakat. Sebagai tokoh Aktivis 98 yang turut ikut dalam pergerakan reformasi 1998 menuntut sistem demokrasi, dia sangat menyayangkan kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi masih rendah.


"Meski usia demokrasi kita sudah hampir 24 tahun, tapi kedewasaan sebagian masyarakat masih rendah berdemokrasinya dan berjiwa dendam-dendaman. Dikotomi kubu A dan Kubu B akibat perbedaan pandangan politik sudah mengarah ke perilaku brutalisme. Mereka seperti menghalalkan untuk melakukan kekerasan kepada orang berbeda pandangan dengannya," ujar Ketum Alumni  UMB ini.


Dia bilang demokrasi brutal ini disebabkan karena biaya demokrasi Indonesia berbiaya tinggi, sehingga politisi  menggunakan sentimen sara (suku, agama, ras dan antar golongan).


"Demokrasi brutal ini lahir karena biaya politik yang hight cost. Butuh dana besar untuk bisa menang bertarung merebut kekuasaan. Makanya, si-kandidat menghalalkan segala cara, termasuk menggunakan sentimen sara. Akhirnya pecahlah bangsa ini berkubu-kubu," jelas Aznil Tan lebih lanjut.


Tokoh Aktivis 98 ini mendesak pihak kepolisian untuk menindak pelaku yang mencederai demokrasi. Perilaku tersebut tidak boleh dianggap kasus kriminal biasa.


"Polisi jangan seperti pemadam kebakaran. Harus menggunakan pendekatan extra ordinary crime untuk mengakhiri demokrasi brutalisme yang berpotensi memecah belah bangsa dan mencegah terus berulangnya jatuh korban kekerasan fisik. Kedepan tidak ada lagi kasus seperti Ade Armando ini lagi. Jika ada elit politik terendus membawa sentimen sara dan kelompok masyarakat main hakim sendiri, langsung tangkap," pungkasnya.(*).

0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot