Berita-Cendana.Com- Jakarta,- Migrant Watch mengecam keras pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menyebut Indonesia tidak kekurangan lapangan kerja dan menyindir rakyat yang mempertanyakan hal itu sebagai “kufur nikmat”.
Pernyataan tersebut dinilai tidak beretika, tidak berempati, dan mencederai jutaan rakyat Indonesia yang tengah berjuang mencari pekerjaan layak di tengah krisis ketenagakerjaan nasional, Jakarta, 4 Juni 2025.
“Pernyataan Bahlil yang menyebut rakyat 'kufur nikmat' di tengah kesulitan mendapatkan pekerjaan adalah cerminan kesombongan kekuasaan. Ini bukan sekadar kegagalan empati dan buta terhadap realitas, tetapi juga bentuk penghinaan terhadap penderitaan jutaan rakyat,” tegas Aznil Tan, Direktur Eksekutif Migrant Watch.
Menurut ia, pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia merupakan bentuk pengabaian total terhadap realitas sosial, di mana Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat lapangan pekerjaan.
“Rakyat bukan kufur nikmat, mereka justru merasa dikhianati oleh janji politik yang gagal menciptakan lapangan kerja sesuai kebutuhan nasional. Pernyataan Bahlil mencerminkan elitisme kekuasaan yang lepas dari realitas. Ia harus meminta maaf kepada rakyat, dan Presiden Prabowo seharusnya segera memecatnya,” tegas Aznil Tan.
Migrant Watch Bantah Klaim Bahlil
Analisis Migrant Watch menegaskan bahwa fakta-fakta di tengah masyarakat tidak dapat dibantah
“Indonesia membutuhkan sedikitnya 3,6 juta lapangan kerja baru setiap tahun, atau lebih dari 21 juta hingga 2030. Sementara klaim Menteri Bahlil bahwa sektor energi akan menciptakan 6,2 juta lapangan kerja hingga 2030 hanya menutupi sekitar 30% dari kebutuhan nasional. Itu pun belum jelas realisasinya,” jelasnya.
Aznil menambahkan bahwa kondisi ketenagakerjaan justru memburuk sejak awal 2025.
“Sejak awal 2025, ratusan ribu buruh justru menjadi korban PHK, ironisnya terjadi di tengah klaim pemerintah soal penciptaan lapangan kerja. Kawasan industri besar seperti IMIP di Morowali, IWIP di Halmahera, dan Smelter Freeport di Gresik gagal menyerap tenaga kerja lokal secara signifikan. Yang terjadi justru konflik sosial, dominasi pekerja asing, dan maraknya sistem kontrak,” tambahnya.
Sementara itu, sektor ketenagalistrikan yang digadang-gadang menjadi penyerap tenaga kerja pun belum menunjukkan hasil nyata.
“Bahkan sektor ketenagalistrikan yang diklaim akan menyerap 1,7 juta tenaga kerja hingga 2030, dalam realitanya hanya menampung sekitar 340 ribu per tahun. Itu pun belum tentu menyasar kelompok rentan, seperti pekerja muda, perempuan, atau masyarakat desa,” jelasnya lebih lanjut.
Migrant Watch menilai pemerintah semakin kehilangan sensitivitas terhadap kondisi nyata di lapangan. Pemerintah gagal membaca kebutuhan riil masyarakat dan lebih sibuk memoles narasi keberhasilan yang semu.
“Pemerintah harus berhenti memanipulasi angka-angka dan berhenti membanggakan proyeksi di atas kertas tanpa menyentuh realita di bawah. Rakyat tidak butuh janji-janji statistik. Rakyat butuh bukti nyata: pekerjaan yang benar-benar tersedia dan diterima,” tegas Aznil.
Ia menambahkan bahwa berbagai kejadian antrian panjang dan ricuh dalam proses pencarian kerja, bahkan sampai ada yang pingsan karena berdesakan, seharusnya menjadi tamparan keras bagi penguasa.
“Apakah pemandangan rakyat berdesakan, membludak dalam antrean lowongan kerja, hingga ada yang pingsan, masih belum cukup membuka mata penguasa? Ini bukan soal kufur nikmat. Ini soal negara yang lalai menciptakan kesempatan kerja yang adil dan layak bagi rakyatnya,” pungkas Aznil Tan.(*).
Posting Komentar