Sumpa Adat Tolak Sawit di Tanah Papua, "Kami Tak Butuh Sawit, Kami Butuh Alam yang Utuh"

Pemasangan Spanduk Penolakan Perusahaan Sawit (Foto Jubi.Id).

Berita-Cendana.Com- Papua- Sorong,-  Masyarakat adat wilaya Klaso Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat Daya dengan tegas memasang spanduk penolakan Perusahaan Sawit yang masuk ke Sorong Papua. Masyarakat adat dengan tegas bahwa mereka tak butuh sawit tapi butuh alam yang utuh. 

Demikian disampaikan oleh perwakilan masyarakat adat Klaso, David di Klaso pada  21 Juni 2025.

“Kami tidak butuh sawit, kami butuh alam yang utuh, kami tidak akan diam dan biarkan perusahaan masuk seenaknya, tegas David.

Pada momentum upacara adat tersebut, hadir juga anggota DPRD Kabupaten Sorong, Martinus Ulimpa, kehadirannya dalam musyawarah adat ini sebagai wakil rakyat, dan juga sebagai anak adat yang memiliki hak ulayat di wilayah Klaso. Sebagai anak adat tentunya akan berjuang hingga titik darah penghabisan demi pertahankan tanah adat di Klaso.

“Kami sudah lihat kampung-kampung lain hancur. Kami tidak mau nasib yang sama menimpa Lembah Klaso. Kami ingin hutan tetap berdiri air tetap mengalir, dan tanah ini tetap hidup untuk anak cucu,” tegas Martinus Ulimpa.

Pengambilan keputusan yang menyangkut tanah adat tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pemerintah atau investor. 

“Kami tidak mau wilayah adat ini jadi korban eksploitasi seperti daerah lain. Perusahaan tidak boleh masuk tanpa persetujuan masyarakat adat. Saya akan suarakan ini di DPRD dan kepada Bupati Sorong, ” katanya.

“Kami sudah sepakat dalam sumpah adat, tanah kami tidak boleh diinjak oleh perusahaan sawit mana pun, termasuk PT Fajar Surya Persada. Ini bukan tanah kosong. Ini tanah warisan, tanah hidup yang kami jaga dari leluhur sampai hari ini,” ujar Ketua Dewan Adat Klaben, Dance Ulimpa di hadapan masyarakat dan anggota DPRD Kabupaten Sorong.

Pertemuan ini menjadi momentum penting untuk memperkuat suara masyarakat adat yang selama ini diabaikan pemerintah pusat khususnya terkait izin investasi.

Setelah itu masyarakat adat menanam spanduk petisi penolakan dan menanam bambu yang diikat kain untuk melambangkan larang keras kepada siapa saja yang melanggar, baik perusahaan, pemerintah atau masyarakat adat, maka akan menerima hukum alam sesuai aturan adat.

Dalam musyawarah adat juga terungkap kehadiran industri sawit selama ini di Kabupaten Sorong, hanya berdampak negatif bagi komunitas adat seperti deforestasi, pencemaran air dan hilangnya dusun pangan tradisional seperti sagu.

Dalam menyikapi persoalan investasi, Martinus juga menyampaikan perlunya penguatan regulasi adat, khususnya yang melindungi masyarakat adat Moi dari ancaman penguasaan tanah dan kerusakan hutan.

“Kalau kita menyuarakan saja tanpa dasar yang kuat, maka kita lemah. Harus dibackup dengan aturan. Peraturan perlindungan masyarakat adat suku Moi itu sudah ada sejak 2017l, tapi sekarang sudah lima tahun lebih. Kami rencana evaluasi,” katanya.

Ia menilai, evaluasi terhadap aturan itu penting agar bisa diperkuat sesuai kondisi dan kebutuhan terkini. Dia juga berjanji akan berkoordinasi dengan tokoh adat, LMA, dan Dewan Adat untuk evaluasi ulang.

“Hutan mana yang bisa dimanfaatkan, hutan mana yang harus dilindungi, itu perlu didiskusikan lagi. Peraturannya sudah tepat, tapi waktunya perlu penyegaran,” jelas Martinus.

Sebagai anggota DPR dan juga bagian dari Badan Legislasi, ia berjanji akan mendorong revisi Perda inisiatif terkait perlindungan tanah adat Moi. Dilanjir dari Jubi.Id.

Musyawarah ini kemudian melahirkan Sumpah Adat Penolakan Sawit, sebuah ikrar sakral dalam tradisi Moi Kelim yang melarang segala bentuk aktivitas perusahaan sawit di wilayah adat mereka. Sumpah ini bersifat mengikat secara sosial, hukum adat, dan spiritual. (*).



0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot